Senin, Maret 08, 2010

Mencontek dan Dicontek

Kinanthi - Jakarta 
Apa yang Anda rasakan ketika Anda tahu seseorang mencontek ‘sesuatu’ milik Anda? Mulai dari hal kecil dari gaya bicara, gaya berpakaian, gaya berdandan, sampai ke urusan yang lebih berat seperti menjiplak opini Anda, ide-ide Anda, dan tentunya karya-karya Anda, termasuk didalamnya karya ilmiah atau skripsi atau tesis. Kesal, jengkel, merasa tak dihargai, menganggap orang itu munafik, dan lain sebagainya. Segala perasaan itu pernah saya rasakan juga, ketika Tugas Akhir (skripsi) saya, sebagian isinya dicomot tanpa ijin oleh mahasiswa lain tapi satu pembimbing dengan saya.



Saya tidak memperkarakan penjiplakan tersebut lebih jauh, saya hanya menuntut mahasiswa tersebut untuk mencantumkan dalam Tugas Akhirnya bahwa dua belas halaman didalamnya bersumber dari Tugas Akhir saya. Alasan saya tidak memperkarakannya lebih karena pembimbing saya, karena beliau pasti akan kena sanksi. Tugas Akhir saya sudah disidangkan lebih dulu dan bukunya sudah mejeng rapi di ruang beliau dan tinggal menunggu finalisasi administrasi bertengger di perpustakaan jurusan. Seharusnya, pembimbing saya tersebut sudah membaca Tugas Akhir saya hingga tamat, seharusnya ketika beliau menguji mahasiwa penjiplak tersebut beliau tahu bahwa itu bukan murni pekerjaannya. Jarak saya dan mahasiswa penjiplak sidang tidak lebih dari dua minggu. Beliau hafal luar kepala apa yang sedang saya kerjakan, apa yang si mahasiswa penjiplak kerjakan. Ya, beliau sedikit teledor, beliau mengakui itu. Diantara isaknya beliau meminta maaf, dan saya orang yang mudah terkalahkan oleh air mata.

Yang membuat saya kesal tentu mahasiswa tersebut. Ketika dia dipanggil oleh pembimbing, disitu ada saya, dia beralasan bahwa Tugas Akhir saya belum terbit ketika dia mengambil isinya. Padahal, dalam dunia akademik, sudah biasa seseorang menuliskan referensi judul buku dengan status akan terbit.
Mahasiswa tersebut terkenal pintar, santun, dan agamis, nyatanya? Saya ingat bagaimana dia merengek pada saya untuk meminjam Tugas Akhir saya sampai mau menjemputnya di kontrakan saya. Padahal, dalam keseharian, mana mau dia bertegur sapa dengan saya yang bagi komunitasnya bukan muslimah yang baik. Saya sebenarnya sudah punya firasat bahwa ada sesuatu yang tidak beres ketika dia meminta ijin untuk meminjam. Mengapa kepada saya yang dia tahu bahwa nilai-nilai saya jauh sekali dibawah dia? Semua orang di jurusan saya sepakat bahwa saya bukan mahasiswi yang pintar. Saya terlalu biasa dan bisa dibilang termasuk pemalas. Tapi, dikejar-kejar dan didesak oleh mahasiwa tersebut membuat saya kasihan juga. Dan saya meminjamkannya. Dan firasat saya benar, dia mencontek kerja keras saya. Dan dengan entengnya dia menganggap itu bukan pelanggaran karena Tugas Akhir saya belum terbit ketika dia mengambil isinya untuk diklaim sebagai buah pikirannya.

Sempat saya didera rasa benci yang demikian hebat padanya. Dimanakah hatinya saat itu? Saya melihat dia seperti makhluk buas yang berkedok sebagai kucing ramah dan manja yang disayang siapa saja. Ah, menyakitkan sekali.

Saya jelaskan padanya, bahwa untuk bisa mengerjakan dua belas halaman yang dia contek tersebut, ada sebuah diktat yang harus dibaca dan dijadikan referensi rumus-rumusnya. Diktat tersebut hanya tersedia satu di perpustakaan dan sampai detik itu ada pada saya. Dengan gagahnya dia mencantumkan buku tersebut sebagai referensi. Saya jelaskan pula, ketika saya membuat pembuktian untuk Tugas Akhir saya, saya banyak memakai simbol-simbol yang saya buat sendiri, dan itu tak akan dia temui di diktat-diktat referensi. Dia hanya terdiam, wajahnya memerah. Saya tahu dia sudah tidak bisa mengelak lagi. Kesombongan apalagi yang bisa dia pakai sebagai tameng? Dia memang pintar, tetapi dia tidak cukup pintar untuk mengelola ambisinya sehingga memakai cara-cara kotor demi mendapat predikat cum laud.

Anehnya lagi, dia tetap berjuang agar saya diam, agar dia tetap bisa cum laud. Dia memohon pada saya dengan alasan orang tuanya. Dia ingin saya menyimpan rapat kasus tersebut juga dengan alasan posisi dia sebagai ketua sebuah komunitas keagamaan. Saya katakan padanya saat itu untuk tidak khawatir, dia tak perlu membuat ibunya menangis. Jauh didasar hati saya, rasanya saya ingin menonjok mukanya yang sok alim. Saya memang tak memperpanjang perkara, lebih karena saya tak ingin pembimbing saya yang harus ikut terkena sanksi. Setelah kanker rahim beliau, saya tak ingin kasus ini semakin memperburuk kondisi kesehatannya. Saya yakin beliau pun pasti akan belajar dari kasus tersebut, beliau pasti akan lebih berhati-hati.

Penjiplakan, penyontekan, memang hal yang umum di dunia pendidikan kita. Mulai dari yang diajar hingga ke pengajarnya, siapa yang bisa menyangkal kasus-kaus tersebut tak pernah terjadi? Masih ingat kasus PNS-PNS di Riau yang ketahuan mencontek penelitian-penelitiannya dalam usaha untuk naik jabatan? Atau kasus seorang profesor kesayangan di sebuah universitas swasta terkenal di Bandung?

Kita pun pasti tahu bahwa membayar orang lain untuk mengerjakan skripsi maupun tesis adalah hal yang lumrah pada banyak orang. Begitu mudah kita jumpai iklan-iklannya di media cetak maupun di situs-situs. Belum lagi, begitu mudahnya sekarang mengakses hasil-hasil penelitian maupun hasil tulisan orang lain lewat internet, bisa dijadikan bahan menulis tanpa harus bersusah payah menggunakan otak sendiri. Khusus untuk skripsi maupun tesis di hampir seluruh perguruan tinggi di Indonesia pun, ada orang-orang yang menjualnya dalam bentuk CD untuk memudahkan pengiriman. Berdasarkan pada artikel yang pernah saya baca, para penjual tersebut biasanya berstatus mahasiswa sehingga mereka mudah mengakses perpustakaan kampus. Skripsi atau tesis biasanya selalu ada di perpustakaan kampus dan boleh dipinjam. Mudah buat para pelaku ini untuk meminjamnya lantas membuat salinannya.

Salah siapa? Salahkan Depdiknas yang membuat kurikulum perkuliahan terasa berat? Salahkan para dosen yang tidak membimbing sekaligus mengawasi sampai ke detail bahan-bahan referensi skripsi maupun tesis? Salahkan para mahasiswa yang malas namun ingin mendapat nilai baik dan IPK berkepala tiga? Salahkan para oknum yang memberi kesempatan para mahasiswa berbuat tidak jujur? Salahkan orang tua yang selalu menuntut anak bernilai baik agar diakui pintar dan mudah mendapat pekerjaan? Salahkan globalisasi yang membuat persaingan dunia kerja semakin membuat orang menghalalkan segala cara? Salahkan para ulama yang tak mampu menyentuh hati terdalam umatnya? Ah, akan semakin panjang saja daftar mereka yang patut dipersalahkan.

Sepanjang yang saya ingat, kawan-kawan di kampus saya terbiasa mencontek dalam mengerjakan tugas-tugas perkuliahan, bila soalnya sama untuk satu kelas. Namun, saya jarang mendapati mereka mencontek Tugas Akhir mahasiswa lain. Kalau melanjutkan banyak, atau topik sama namun pendekatan analisanya berbeda. Saya baru tahu kasusnya ya pada mahasiswa yang menjiplak Tugas Akhir saya tersebut. Jadi, saya tidak berani mengambil kesimpulan secara umum bahwa kebiasaan mencontek waktu ulangan maupun mengerjakan PR akan menyebabkan pelaku menjadi plagiator untuk skripsi maupun tesis.

Saya sendiri, saya mengakui saya pernah mencontek ketika mengerjakan PR. Saya ingat sekali waktu itu saya pun diambang putus asa untuk sebuah mata kuliah yang berkali-kali saya dapat E. Hahahaha, biarlah, ketahuan saya memang bego wakakakaka. Untuk menyelamatkan periode sarjana muda saya, minimal saya harus mencapai nilai D untuk mata kuliah wajib tersebut. Jadilah, sang dosen baik hati mata kuliah tersebut memberi saya beberapa soal tambahan untuk saya kerjakan. Karena soal-soal tersebut membuat rambut saya rontok dengan suksesnya, saya ikhlas menerima bantuan, dari sang Guru, yang pernah saya ceritakan di kokilove dulu. Dia menunjukkan pada saya cara-cara menyelesaikannya. Bahkan, ketika ada yang setelah diberitahu cara-caranya pun saya masih kebingungan dan memilih masa bodoh, dia dengan kalemnya mempresentasikan di papan tulis apa yang dia maksudkan. Dan saya tinggal menyalinnya.

Kalau jaman SMA, saya pernah dilempari jawaban ulangan Biologi oleh pacar saya yang sengaja tempat duduknya tidak jauh dari saya. Karena dia tahu saya benci Biologi dan saya tidak pernah bersungguh-sungguh belajar. Meski dia tahu saya mendapat nilai enam pun tak masalah, tetap saja dia mengirimkan contekan. Katanya, dia yang malu kalau nilai saya jelek, hihihi. Kalau SD samapi SMP, saya murni anak baik dan tidak mencontek. Makin besar memang godaan setan itu semakin berat untuk dilawan, maaf sedikit pembelaan hahaha.

Belajar dari kasus Tugas Akhir saya yang dicontek sebagian isinya dan ternyata itu sangat menyakitkan dan menyesakkan dada, di dunia kerja saya berusaha untuk tidak menjiplak atau mengklaim milik orang lain sebagai buah karya saya. Saya tidak memusingkan Self Appraisal tahunan yang biasanya menjadi tolok ukur kemajuan karir seseorang. Banyak teman kantor yang saling mengklaim hasil kerjanya sebagai hanya milik mereka. Dan, banyak yang menimpakan kesalahan mereka pada orang lain lagi. Istilahnya, selamatkan pantat masing-masing.

Mungkin, saya memang sudah lelah dengan dunia kompetisi, saya lebih memilih mensyukuri apa yang sudah diperoleh dan menjaganya. Untuk beberapa mimpi saya yang belum terwujud pun, saya masih melakoninya dengan pelan-pelan asal selamat. Bukan saya tidak memotivasi diri, saya hanya takut bahwa saya tak mampu mengendalikan mimpi dan harapan saya sendiri sehingga menggiring saya pada hal-hal negatif yang justru merusak ketenangan hati dan pikiran. Saya selalu menekankan pada diri saya sendiri, mau cari apa tho hidup ini, kalau bukan ketenangan dan kebahagiaan. Dan, buat saya, ketenangan dan kebahagiaan itu ada pada diri sendiri, ada pada hati masing-masing. Otak dan hati kita sendiri yang menciptakannya.

Terima kasih untuk yang berkenan membaca dan tidak menjadi sakit hati karenanya. Kalau ada yang sedikit saja ‘merasa’ tak suka, mohon dimaafkan.

Salam,
Kinanthi

Tidak ada komentar: