Selasa, Maret 02, 2010

Kawin Kontrak Pelacuran yang Dilegalkan!

La Rose Djayasupena-Belanda

Dengan dilarangnya menikah siri di Indonesia dan akan di keluarkannya Draf RUU Nikah Siri yang katanya sedang digodok berarti menurutku suatu kemajuan di negara Indonesia. Aku setuju dengan pendapat Jimly Ashshiddiqie bahwa  menikah siri hanyalah zina terselubung.

Padahal di Indonesia bagi yang beragama Islam diperbolehkan menikah lebih dari satu istri, mengapa tidak menikahi saja wanita itu, mengapa harus menikah siri segala? Sebaiknya buat  kaum wanita kalau memang mau menikah siri dengan orang yang dicintai, jangan sampai hamil dulu. Kalau pasangannya ingin punya anak sebaiknya mintalah laki-laki itu untuk menikahi dulu baru hamil -- kalau memang anak yang dilahirkan tidak ingin bermasalah di kemudian hari dan  memiliki akte kelahiran.
Jangan pernah berharap bahwa kalau hamil dan melahirkan anak, pasangan Anda akan berubah dan menikahi Anda. Seandainya laki-laki itu tetap tidak ada niat untuk menikahi secara sah, hanya ingin menikah siri selamanya, sebaiknya Anda cepat-cepat meminta berpisah, masih ada dan banyak laki-laki lain yang akan menjadi jodoh Anda.

Negara Belanda berbeda dengan negara  Indonesia, disini masyarakatnya tidak beragama, maka gereja-gereja makin sepi saja dan kosong,  tidak ada umatnya lagi. Indonesia negara yang berbasis Agama tentu apa-apa yang penting dimata Tuhan sudah sah dan lebih mentaati hukum Agama. Beda dengan Belanda yang tidak beragama, yang lebih mentaati hukum Negara dan peraturan-peraturannya  lebih berlaku  daripada hukun Agama.

Perempuan yang tinggal di Indonesia kalau tidak punya prinsip hidup dan berani bertindak untuk mengambil keputusan, kapan kita  akan dihargai oleh laki-laki? Kapan kita akan bisa sejajar dengan laki-laki? Kelamin dan bentuk fisik boleh berbeda tapi bukan berarti bahwa kita ini adalah perempuan lemah yang bisanya hanya untuk ditindas atau dikasihani.  Ayooo..bangkit kaum perempuan agar suatu saat laki-laki akan melihat kita adalah mahluk yang sangat dia butuhkan dan paling berharga.




Kita sebagai mahluk yang hidup di dunia ini sebaiknya patuh dan menuruti aturan Hukum Negara bukan Hukum Akherat, karena apa yang terjadi seandainya kita mati, apa memang ada kehidupan setelah kematian? Kita sendiri tidak mengetahuinya, semua yang kita ketahui itu hanya dari ajaran-ajaran Agama menurut kepercayaan masing-masing.
Beragama atau mempunyai kepercayaan tertentu boleh-boleh saja agar punya peganggan hidup bagi yang percaya akan adanya Tuhan dan kalau memang setelah kematian ada kehidupan lagi dan kita akan menghadapi pengadilan Tuhan di akhirat sana bukankah kita kalau mati dan menghadap Tuhan sendirian?Jadi apa pun perbuatan kita didunia itu urusan masing-masing, toh kalau mati juga sendirian. Jadi sebaiknya kita tidak perlu mengahakimi kehidupan oranglain dengan dalih Agama.

Belanda negara liberal yang terkenal dengan kehidupannya yang bebas. Apa sih yang nggak boleh di Belanda? Semua boleh! Kecuali satu yang nggak boleh yaitu ”Jangan pernah bertanya tentang PIN code” , hahaha.

Anak-anak muda di Belanda gaya pacarannya bebas.Tetapi bebas dengan tanggung jawab tentunya bukan bebas tanpa tanggung jawab. Yang dimaksud bebas dan bertanggung jawab disini adalah bagi yang melakukan seks dengan pacarnya sebelum menikah, anak-anak muda di Belanda mempunyai kesadaran untuk memakai kondom dan minum pil anti hamil. Maka angka kelahiran disini kecil bahkan sangat jarang anak-anak muda atau pun orang dewasa hamil dan punya anak. Mereka punya kesadaran bahwa kalau mempunyai anak itu biayanya mahal disamping sangat merepotkan. Biarpun disini dapat tunjangan untuk anak-anak yang dilahirkan, bukan berarti kita bisa enak-enakan mendapatkan uang itu…waaah…baju-baju bayi  dan untuk balita itu mahal banget lhoo, apalagi di negara empat musim seperti ini.

Selain kehidupan yang bebas di Belanda juga terkenal dengan daerah ”Lampu Merah” nya. Pelacuran di Belanda Legal mereka yang melakukannya wajib untuk membayar pajak. Bagi cewek-cewek yang mempunyai profesi sebagai Escort Girls mereka semua tercatat di Departemen Pedagangan sebagai orang yang mememiliki perusahan sendiri, hanya para Escort Girls itu perusahaannya bukan dalam bentuk menjual product tertentu tetapi bergerak dibidang jasa, menjajakan/memperdagangkan  tubuhnya sendiri.







Bagi orang-orang yang tidak menetap di negri Belanda pasti kesannya kalau bangsa Belanda  bejat seperti tidak bermoral karena bebasnya kehidupan disini. Walau Belanda negara bebas tetapi bangsa atau masyarakatnya tidak bejat tuh, biasa saja, kehidupannya normal dan bermoral. Aku sendiri nggak tahu seperti apa sih batasan orang yang bermoral dan tidak bermoral? Tolong bisa ada yang menjelaskan?

Jangan berfikiran bahwa penduduk Belanda suka ”jajan” datang ke  “Lampu Merah”  daerah pelacuran itu. Disana yang datang untuk ”jajan”  kebanyakan hanya  para turis bukan penduduk lokal  Belanda-nya. Kalaupun ada penduduk Belanda yang suka “jajan” itu paling-paling juga kakek-kakek tua. Kalau anak-anak muda dan orang dewasanya mana ada yang suka ”jajan” di  lampu merah. Orang disini seks bebas. Bagi yang nggak punya pasangan bisa saja kalau mau ngeseks tinggal pergi ke cafe, bar, discotiq bisa dapat kok kalau mau sekedar ONS atau melakukan dengan teman sekolah-nya, tetangga, collega, mencari lewat internet. Gampang banget kok kalau mau ngeseks yang berdasarkan suka sama suka di Belanda, tanpa harus ”jajan” di lampu merah.(detik.com)

 

 


Bagaimana dengan kawin kontrak di Indonesia? Menurutku itu sama saja dengan pelacuran yang dilegalkan hanya berdalih agama untuk menutupinya yang akhirnya malah terkesan munafik ...


Groetjes


L.R.D

Bung Karno Lompat ke Meja

Walentina Waluyanti – Holland

Sukarno yang masih 16 tahun itu tiba-tiba saja melompat ke meja. Padahal yang mendapat giliran bicara adalah ketua studie-club. Tapi Sukarno tidak perduli. Belum habis keterkejutan orang dengan tindakan beraninya itu, Sukarno langsung menyambar dengan pidatonya. Isinya sangat berani.

Terang-terangan diteriakkannya ketidaksetujuannya terhadap kebijakan pendidikan di masa itu. Dengan lantang dia protes jika bahasa Belanda lebih dinomorsatukan daripada bahasa Melayu (ketika itu belum bernama bahasa Indonesia).

Sukarno nyerocos, “Saya berpendapat, bahwa yang harus kita kuasai pertama-tama lebih dulu adalah bahasa kita sendiri. Marilah kita bersatu sekarang untuk mengembangkan bahasa Melayu. Kemudian baru menguasai bahasa asing”.

Lebih lanjut diuraikannya alasannya secara panjang lebar. Logis dan jelas. Itulah pidato pertamanya di depan umum. Walaupun cuma di depan murid-murid dan guru-guru Belanda di sekolahnya. Isi pidatonya bikin geger. Teman-temannya terpana kagum. Tapi pihak sekolah kalang kabut.


                              
Sukarno dan teman-teman sekolah




Direktur sekolahnya, Meneer Bot geleng-geleng kepala. “Ooooh...Sukarno ini mau bikin susah”.
Kata-kata Meneer Bot itu memang benar. Beberapa waktu sesudahnya, setiap pidato Sukarno  terbukti mampu membakar rakyat.

Dalam tulisan saya berjudul “Bung Karno Seniman Teater”, sudah saya tulis bagaimana awalnya hingga Sukarno termotivasi untuk tampil di depan umum. Sekarang bagaimana awal inspirasi Sukarno hingga bisa menjadi singa podium?

“No, apa kau gila?...apa kau sakit?”, begitu  tetangga-tetangga berteriak pada Sukarno remaja. 
Orang-orang itu memang merasa terganggu kalau Sukarno sudah mulai “kumat”. Soalnya Sukarno memang sering teriak-teriak berpidato sendiri di kamar kost-nya. Kamar kandang ayam. Begitu Sukarno menamakan kamarnya. Karena kamar itu tanpa jendela, tanpa pintu dan selalu gelap. Kamar itu terpisah dari rumah utama, yang dihuni oleh tokoh pergerakan terkenal, HOS Tjokroaminoto.




Biarpun diprotes tetangga, tapi Sukarno sambil berdiri di atas meja goyah terus saja teriak-teriak ngoceh sendiri. Kayak orang sinting. Akibatnya orang-orang yang kesal itu cuma bisa bilang, “Ah, si No itu cuma mau menyelamatkan dunia lagi”.

Walau masih remaja, pikiran cerdas Sukarno sudah dipenuhi kegelisahan tentang ketidakadilan yang harus ditelan bangsanya. Ekspresi kepeduliannya itu dilepaskannya dengan cara berorasi sendiri. Meneriakkan ide-ide yang tak bisa dikendalikan, meluap melalui pidatonya di kamarnya yang sepi tanpa siapapun.

Ketika bersekolah di HBS Surabaya, Sukarno mondok di rumah kenalan ayahnya, Haji Oemar Said Tjokroaminoto, ketua Sarekat Islam. Kita tahu, Utari salah satu putri Tjokroaminoto kemudian dinikahi “kawin gantung” oleh Sukarno, walaupun hanya singkat. Pernikahan yang diusulkan oleh saudara Pak Tjokro itu diakui Sukarno tak mampu ditolaknya karena merasa berhutang budi. Namun akhirnya Utari  dikembalikan Sukarno ke orangtuanya tanpa pernah “disentuh”. 

Sebagai ketua pergerakan, Pak Tjokro sering harus berpidato di hadapan massa. Sukarno selalu mengikuti kemana saja Pak Tjokro pergi berpidato. Karena memang boleh dikatakan Soekarno itu “buntutnya” Pak Tjokro. Kemana Pak Tjokro pergi, ke situ pula Sukarno ikut. Di situlah Bung Karno mulai mengamati teknik berorasi Pak Tjokro, tokoh idolanya itu. Diamatinya dengan cermat. Semua itu terekam dengan baik di ingatannya, hingga disadarinya sesuatu.




Pak Tjokro yang sangat dihormatinya itu jelas lebih berpengalaman sebagai pemimpin. Tapi setelah mempelajari pidato Pak Tjokro, Bung Karno tahu, dia bisa berpidato lebih baik dari tokoh panutan itu.

Kekurangan-kekurangan Tjokroaminoto dalam “public speaking” adalah cermin baginya yang kemudian membuatnya menjadi orator ulung di kemudian hari.

Kita tahu, bangsa Indonesia sejak dulu hingga kini tumbuh dalam budaya paternalistik. Artinya orang yang lebih tua dan lebih berpengalaman dianggap panutan. Maka yang muda harus mencontohnya. Kita diajarkan, belajarlah dari orang tua, karena mereka berpengalaman. Ini bukannya tanpa dampak negatif.

Dampak negatifnya, orang-orang tua enggan “mendengar” orang muda. Mungkin saja orang muda itu benar. Tapi tetap kita sering dengar kata-kata khas orangtua, “Tahu apa kamu, ojo keminter, jangan menggurui”. Akibatnya yang muda menjadi tidak kreatif dan tidak punya inisiatif. Karena budaya membuat anak muda mesti manut saja. Cuma terpaku pada pola yang sudah pakem, yaitu dari sang panutan. Kearoganan orang tua yang ogah belajar dari yang muda (alasannya, mana ada orang muda lebih pandai) membuat pengetahuan mandeg dan itu-itu saja. Hasilnya, derap ke arah kemajuan terasa lamban.

Sukarno yang tumbuh dalam budaya ini, sejak remaja sudah menunjukkan jiwanya sebagai pendobrak dan pelopor. Dia tidak begitu saja menerima semua yang didengarnya dan yang dilihatnya. Walaupun itu tokoh panutan sekalipun. Lebih berpengalaman tidak selalu berarti lebih baik.
Itulah beda Sukarno dengan remaja sebayanya di masa itu. Ciri-cirinya sebagai calon  pemimpin besar sudah tampak sejal awal.

Bung Karno mengakui pengaruh besar Pak Tjokroaminoto terhadap rakyat. Tapi setelah mengikuti pidato-pidatonya, Bung Karno merasa pidato Pak Tjokro monoton dan tidak bergaram.
Monoton artinya, tidak mengatur kapan harus meninggikan atau merendahkan suara. Tidak bergaram maksudnya, pidato Pak Tjokro tidak punya sentuhan humor. Atau menurut istilah Bung Karno, “Tak pernah membuat lelucon”.

Belajar dari kekurangan-kekurangan teknik orasi Tjokroaminoto tadi, Sukarno menemukan gaya orasinya sendiri.

Pertama, dia menarik perhatian pendengarnya, kemudian “...aku tidak hanya menarik, bahkan kupegang perhatian mereka. Mereka terpaksa mendengarkan. Suatu getaran mengalir ke sekujur tubuhku ketika mengetahui, bahwa aku memiliki suatu kekuatan yang dapat menggerakkan massa”. Begitu kata Sukarno. Dan begitu juga kata Plato, retorika (ilmu berbicara) adalah sarana mempengaruhi rakyat.




Ketika Sukarno melompat ke meja, itulah caranya menarik perhatian. Selain itu juga memang diakui Sukarno, dirinya adalah orang yang emosional. Dan apa rahasianya hingga pidato Sukarno mampu menyihir orang untuk tetap terpaku mendengar dan percaya apa yang dikatakannya?

Modalnya terutama bagaimana merangkai kalimat indah berseni namun efektif, cerdas dan bermakna dengan cara sederhana. Orang tidak sekolah juga bisa mengerti maksudnya. Orang yang suka ngantuk pun mendadak melek. Kalimat Sukarno bukan nasihat hipokrit memuakkan, omong kosong, klise yang sudah basi didengar orang ribuan kali, sampai anak bayi juga tahu.

Seni berbicara di depan publik, tidak sekedar menyampaiKEN dan orang-orang mendengarKEN.
Bung Karno juga tahu kapan saatnya memberi jedah di tengah kalimat. Diam sejenak. Maksudnya memberi waktu beberapa detik pada pendengar untuk meresapi kalimat yang tadi baru dikatakannya. Sebaliknya Bung Karno juga tahu kapan saatnya harus nyerocos bak mitraliyur tanpa koma tanpa titik dengan nada cepat namun jelas, yang sangat ampuh membakar massa. Sesudah itu terdengar gemuruh tepuk tangan tanpa henti.





Di tengah tepuk tangan itu, dengan cerdik dia menumpuk kembali kalimat demi kalimat yang tujuannya mengaduk-aduk dan menyeret emosi massa. Klimaks-nya? Ketika massa sudah mendidih, Sukarno “memantik api” hingga berkobar, dengan tangan terkepal, berapi-api sambil garang segarang-garangnya bak halilintar membelah bumi diteriakkannya kata ......MERDEKA!!! MERDEKA!!! MERDEKA!!!


Walentina Waluyanti
Nederland, 23 Februari 2010

Jejak Multatuli di Lebak


Isa Alimusa – Amsterdam

Banyak karya sastra yang mempopulerkan tempat-tempat eksotis di penjuru dunia. Siapa yang tidak kenal Oran di Aljazair atau Guadalajara di Meksiko. Dua kota itu lekat dengan novel The plague Albert Camus dan Under the volcano Malcolm Lowry. Indonesia juga punya Lebak. Multatuli memperkenalkan kabupaten di Jawa Barat itu ke ranah literatur internasional dalam roman (oto)biografis Max Havelaar.

Multatuli – pseudonim Eduard Douwes Dekker – 150 tahun lalu adalah asisten residen di Lebak, Banten. Di Belanda, ia dicap pegawai negeri yang diasingkan. Di pertengahan abad ke-19, Multatuli menulis keprihatinannya seputar kebijakan tanam paksa di Rangkasbitung. Havelaar, tokoh protagonis roman Max Havelaar, berupaya melawan kekejaman Hindia Belanda dan Bupati Raden Tumenggung Adipati Kartanatanegara. Hingga kini pun, Lebak masih dipimpin oleh bupati atau regent, kendati jabatan ini tidak lagi diwariskan turun-temurun. Oktober 2009 silam, penduduk Lebak dapat memilih langsung pemimpin mereka.

Rangkasbitung, ibukota Lebak, sepintas tampak seperti kota mati tak bertuan. Jarang ada warga yang kenal Multatuli. Hanya polisi yang tahu ada jalan bernama Multatuli. Jalan itu pun bukan urat nadi Lebak. Rumah dinas Multatuli cuma tinggal reruntuhan dinding dan beberapa tegel. Dari puluhan toko buku megah di Jakarta, hanya satu penyalur yang mempunyai persediaan buku Max Havelaar terjemahan H.B. Jassin. Pak Soehardjo, supir sewaan Blue Bird, melaju kencang dari Jakarta menuju Serang melalui Jalan Raya Pos buatan Daendels. Kini, trayek Jakarta-Merak adalah jalan tol dengan enam jalur.




Di Bantam, tak ada lagi lumpur setinggi lutut atau tanah liat becek di musim hujan. Jalan penghubung Serang dan Lebak sudah diaspal, kendati Pak Soehardjo harus lihai menghindari pengendara motor yang menyalip seenaknya. Kadang, ia mengurangi laju kendaraan jika berpapasan dengan truk pengangkut ayam. Sewaktu Douwes Dekker menjabat residen di Lebak, kawasan ini amat mengenaskan akibat cultuurstelsel.  Petani dipaksa menanam dan menyerahkan sebagian besar hasil panen ke pemerintah Hindia Belanda. Padahal, komoditi dagang saat itu seperti kopi, tebu dan tarum tak dapat tumbuh subur di keresidenan itu. Ditempatkan di Lebak bagi ambtenaar Belanda sama saja dengan vonis mati.

Sampai sekarang pun, Lebak bukan kabupaten makmur. Petani kebanyakan menanam padi gogo tanpa pengairan semestinya dan tidak dapat dipanen tiga kali setahun seperti kebanyakan sawah-sawah di Jawa. Di musim kemarau, ladang itu kelihatan gersang dan menguning diselingi sekawanan kerbau, layaknya kisah Saidjah dan Adinda di Max Havelaar. Kondisi jalan terawat cukup baik. Tiang-tiang komunikasi ponsel terlihat menjulang di sisi jalan. Telpon genggam juga jadi ‘mainan’ populer di Lebak dan gedung sekolah hampir rampung dibangun. Lebak mulai bergeliat dan sadar, infrastruktur adalah tolok ukur kemajuan.




Menjelang tengah hari, Pak Soehardjo dan rombongan melewati Ciujung, sungai yang mengalir pula di roman Max Havelaar. Spanduk besar tergantung di jembatan bertuliskan ‘Lebak Membangun’ dilengkapi  potret dua pria: Haji Mulyadi Jayabaya dan Ir. Amir Hamzah, Bupati dan Wakil Bupati Lebak. Memasuki Rangkasbitung, Jalan Protokol membelah kota menuju alun-alun. Belum lama ini, jalan tersebut dilebarkan. Di tengah trotoar, akhirnya papan penunjuk Jalan Multatuli dapat ditemukan. Mesjid Agung berdiri megah dekat alun-alun dan mobil-mobil berderet diparkir di sekitar Kantor Bupati Lebak yang baru direnovasi. Di tembok koridor, Aula Multatuli ditulis dengan cat berwarna perak. Lebak belum lupa Douwes Dekker.

Sebetulnya, roman Max Havelaar adalah kritikan tajam terkait penyalahgunaan kekuasaan di Hindia Belanda. Bukan saja terhadap kolonisator Belanda, tetapi lebih kepada otoritas Indonesia saat itu. Protes keras Multatuli terutama ditujukan ke bupati Lebak dan menantunya, demang Parangkujang. Pemerintah Belanda adalah pihak ketiga yang membiarkan praktik kotor dua penguasa tersebut berjalan leluasa.

 Adipati Kartanatanegara adalah tokoh historis priyayi di Jawa. Setelah kalah melawan gubernur jenderal Belanda di Perang Diponegoro (1825-1830), ia hengkang dari Batavia dan pindah ke Lebak. Namun, ia tetap menyandang status ningrat dan memiliki fasilitas bangsawan. Secara hierarkis di masyarakat, Adipati Kartanatanegara adalah ‘saudara muda’, sedangkan residen Belanda disebut ‘saudara tua’. Waktu itu, kekuasaan di Lebak amat terpusat dan birokratis.

Beberapa saat setelah resmi ditugaskan di Lebak, asisten residen Havelaar mendengar bahwa pendahulunya, Slotering, tewas diracuni oleh demang Parangkujang dalam sebuah perjamuan makan. Slotering mengendus praktik korupsi semena-mena demang itu dan mertuanya. Havelaar mulai meneliti arsip-arsip Slotering dan menampung keluhan warga Lebak.  Sudah terbetik berita, Adipati Kartanatanegara akan dikunjungi oleh sepupunya dari Cianjur. Kartanatanegara memerintahkan rakyat jelata untuk membersihkan rumput di sekitar rumahnya dan menyembelih paksa kerbau-kerbau milik petani untuk dijadikan hidangan pesta. Padahal,  ternak itu diperlukan untuk membajak sawah.

Havelaar melayangkan surat protes ke atasannya, residen Slijmering. Ia tak mengindahkan Havelaar dan justru mengucurkan dana tambahan untuk Adipati Kartanatanegara. Havelaar dipindahkan ke Ngawi, Jawa Timur, tapi ia sukarela mengundurkan diri. Havelaar mencoba mengadu ke salah satu gubernur jenderal, namun petinggi itu dipanggil pulang ke Belanda sebelum bertatap muka dengan Havelaar.

Max Havelaar dianggap roman terpenting kesusastraan Belanda di abad ke-19, terutama karena konstruksi rumit dan gaya bahasa yang dipakai. Selain itu, pesan moral buku tersebut menggemparkan Belanda. Bahkan, ada beberapa mantan pegawai kolonial bunuh diri setelah membaca roman itu. Tulisan ini juga disebut salah satu pemicu penghapusan tanam paksa di tahun 1870, meski banyak sejarawan Belanda memperdebatkan kebenaran Max Havelaar. Menurut catatan kolonial Belanda, pendahulu Multatuli, Carolus, bukan keracunan melainkan terkena wabah disentri dan meninggal di rumah sakit militer di Serang.

Arsip itu juga membeberkan kekuasaan feodal di Jawa semasa kolonisasi. Bupati menerima penghasilan minim dari pemerintah Hindia Belanda dan harus menghidupi karyawan serta keluarganya. Kunjungan bupati Cianjur, Kusumaningrat, jadi tamparan bagi Kartanatanegara. Apalagi, sepupunya itu juragan kopi kaya di Preanger dan datang dengan rombongan besar. Takut kehilangan muka, Kartanatanegara terpaksa ‘meminjam’ kerbau dari rakyat dan memakai tenaga penduduk untuk menyiangi rumput di halaman istana.

Seusai Revolusi Perancis, kebiasaan memberi hadiah ke penguasa atau tuan tanah dihapuskan di Eropa dan wilayah koloninya. Namun, tradisi pundutan atau persembahan untuk raja masih berakar kuat di Pulau Jawa. Residen Brest van Kempen (figur Slijmering di roman), atasan Douwes Dekker,  menekankan pula adat di Jawa. Menurutnya, tak ada penyitaan kerbau secara paksa. Penduduk tetap menerima ganti rugi, meski tak mencukupi dan terlambat. Van Kempen sempat pula mengeluarkan surat peringatan terhadap Kartanatanegara dan memecat demang Parangkujang.

 


Subagio Sastrowardoyo, kritikus sastra, pernah menulis artikel pada tahun 1987 mengenai roman Max Havelaar. Menurutnya, roman ini hanya dikenal oleh sebagian kecil masyarakat di Indonesia tetapi sangat dihargai karena menjabarkan penyalahgunaan wewenang oleh pemerintahan kolonial maupun lokal. Namun, ia menyayangkan nama samaran Multatuli. “Douwes Dekker menggunakan nama fiktif untuk figur-figur romannya, tetapi sama sekali tidak mengubah Kartanatanegara. Douwes Dekker seakan menginjak-injak nama baik Kartanatanegara dan keturunannya yang masih hidup,” terang Sastrowardoyo.

Kartanatanegara masih menjabat bupati selama sembilan tahun setelah ‘kasus’ Havelaar dan menghabiskan akhir hayatnya di Rangkasbitung. Kartanatanegara dikuburkan di sebelah barat alun-alun, dekat Mesjid Agung. Batu nisan pemakaman tersebut menyandang nama-nama bangsawan: Sumaatmadja, Nataatmadja dan Kartadjumena. Pusara Kartanatanegara terletak di bawah pohon rimbun dan terlihat baru dibenahi. Nisannya dibalut sorban putih. Seorang petugas menyibak kain tersebut dan terpampang pahatan nama dalam bahasa Arab. Menurut petugas itu, banyak yang berziarah di makam Kartanatanegara.

Di selatan alun-alun, Gedung Negara bekas kantor Douwes Dekker sudah dipugar dan dihiasi foto-foto panorama di zaman penjajahan, di antaranya kediaman Douwes Dekker di Rangkasbitung dan potret istrinya, Everdine van Wynbergen (figur Tine di Max Havelaar). Sejarah belum lekang di Lebak. Seorang dokter dan tiga perawat mondar-mandir di anak tangga. “Pak Bupati mau donor darah, tapi masih sibuk,” jelas seorang suster. Haji Mulyadi Jayabaya, orang nomor satu di Lebak, berasal dari Cileles. Ia adalah putra seorang kepala desa dan sempat menjadi supir angkot sebelum terjun ke politik. Haji Mulyadi bergabung dengan  PDI-P setelah Suharto lengser di tahun 1998.

Ia terpilih menjadi bupati Lebak pada 2003, dan dipercaya kembali melalui pemilihan langsung dan perolehan 65% suara untuk memimpin kabupaten Lebak di tahun 2009. Haji Mulyadi lebih sering dipanggil Haji Bai. Ia sendiri lebih senang dijuluki JB – berdampingan dengan SBY. JB disayang warganya. Ia benci birokrasi, tak segan turun ke jalan dan banyak memakai tenaga karyawan muda di kantornya. Wakilnya, Amir Hamzah lebih intelektual dan memiliki jaringan sosial dengan dunia akademis. Kombinasi duet ideal: ide efektif dan otot politik.

“Kami baru menyusun buku sejarah Lebak. Lima belas halaman mengupas Douwes Dekker,” ujar Amir Hamzah. Perawakannya kecil tapi gempal. “Buku ini disusun oleh sejarawan Universitas Pajajaran di Bandung,” tambahnya. Ia memaparkan, “Douwes Dekker adalah figur kontroversial di Indonesia. Ia memojokkan bangsa jajahan, tapi  tetap nasionalis dan sauvinis. Saya hormat dengan Multatuli, ia mau memperjuangkan rakyat jelata dan mempertaruhkan karirnya sendiri untuk kebenaran.” JB menimpali, “Multatuli adalah pahlawan Lebak. Nama kami pun mirip. Multatuli dan Mulyadi. Mulyadi adalah pembela rakyat cilik!” Amir tersenyum dan wangi rokok kretek mulai tercium di ruang kerja JB. “Jangan percaya JB. Mana pernah dia baca hikayat Saidjah dan Adinda. Paling cuma dengar dari orang!” ejek Amir.

 


Pak Soehardjo, pengemudi merangkap pemandu, menawarkan mampir ke Cileles, sekitar 40 kilometer di selatan Rangkasbitung. Mengutip Multatuli, Cileles atau Parangkujang adalah contoh eksploitasi kolonialisme paling kelam di Jawa Barat. Cileles adalah tempat kelahiran JB. Tiap orang pasti kenal Haji Bai. Perkebunan karet dan kelapa sawit terlihat dari kejauhan. Selain itu, masih ada beberapa pohon cengkeh, kakao dan aren menyembul. Beberapa buruh harian tampak mengais rezeki dekat pabrik arang. Asap hitam mengepul di udara.

Gunung Kencana merupakan dataran paling tinggi di Lebak. Di kaki gunung tersebut, sekumpulan tukang sedang membangun gedung sekolah di Desa Gunung Kidul. Di perempatan jalan, sebuah warung sederhana milik Kang Anom dan istrinya, Nina, menjadi wahana sosialisasi penduduk sambil lalu lalang. Kang Anom langsung antusias mendengar nama JB, “Dia teladan kami. Penduduk Gunung Kidul semua memilih JB. Anak-anak bisa kembali menimba ilmu. Orang tak mampu dibebaskan membayar iuran sekolah. Bocah-bocah itu tidak perlu lagi belajar di kandang ditemani ayam.”

Tapi, mengapa jalan di sini justru banyak lubang? Zakaria, penduduk setempat, menjelaskan sambil menyeruput kopi, “Kontraktornya penipu. PT Budi Bahagia. Uang dari bupati malah dikantongi sendiri. Tapi, sudah kami laporkan.” Seorang pengendara motor dengan kotak putih di joknya menanyakan arah jalan ke Kang Anom. “Ujang kasep dan soleh. Dia kerja di puskesmas,” sergah Nina. Lebak memiliki 40 puskesmas dan menyediakan 203 mantri keliling untuk kawasan terpencil

Sebagian tamu di warung Kang Anom punya ponsel, kadang lebih dari satu. “Menara komunikasi terus dibangun. Buat kami malah untung. Tarif telepon jadi turun,” kata Zakaria. “Penduduk menghubungi mantri keliling juga memakai HP,” tambah Kang Anom. JB menjelaskan, “Kami ingin pengusaha jujur di Lebak dan membuat daftar hitam perusahaan bermasalah. Sejauh ini sudah ada 57, termasuk PT Budi Bahagia.” Langkah JB seolah terinspirasi dakwaan Multatuli terhadap demang Parangkujang. “Dulu, bupati dianggap setengah raja. Sekarang, situasi lain. Zaman kolonial menganut sistem sentralisasi, sedangkan Kabupaten Lebak punya semacam otonomi regional untuk mengembangkan wilayahnya sendiri,” terang Amir. Awal Agustus 2009 silam, Wapres Boediono  sempat berkunjung ke Lebak. Kabupaten ini pun digelari salah satu wilayah terbaik oleh majalah Tempo.

 



Catatan:

Max Havelaar pertama kali diterbitkan pada 15 Mei 1860 di Amsterdam oleh percetakan De Ruyter. Eduard Douwes Dekker atau Multatuli (1820-1887) mencoba menguraikan pengamatannya sewaktu ditugaskan di Hindia Belanda tahun 1838 hingga 1856. Max Havelaar banyak dipuji baik secara kualitatif maupun isi pesan di dalamnya. Roman ini sudah diterjemahkan di banyak bahasa, antara lain Polandia, Korea, Jepang, Perancis, Inggris, Indonesia, Ibrani, Serbia, Italia dan Jerman.                                                                                                                                                                  

Banyak yang menganggap karya Multatuli sebagai satire politik. Penindasan, keadilan dan perdagangan jujur adalah tema yang masih aktual hingga saat ini. Tak heran, produk-produk sinambung – dan anti eksploitasi tenaga kerja – di beberapa negara Eropa diberi label Fair Trade Max Havelaar. Dalam bukunya, Multatuli mengobrak-abrik kolonialisme, perdagangan internasional dan kejahatan berkedok misionaris.

Pemerintah Belanda mengorganisasi peringatan 150 tahun Max Havelaar dengan beragam aktivitas, di antaranya pameran bertajuk ‘Bukan roman, tapi gugatan!’ (Het is geen roman, ’t is een aanklacht!) di Universiteit van Amsterdam dan eksposisi sejenis di Multatuli Museum. Selain itu, bakal diselenggarakan pula beberapa simposium dan pemutaran film Max Havelaar (1976).(detik.com)

SEANDAINYA SAYA SBY

Pasca kesimpulan akhir fraksi-fraksi di Pansus Century yang ditayangkan secara terbuka oleh beberapa televisi dan radio, dan diberitakan oleh hampir semua media cetak nasional dan daerah, maka menjelang Sidang Paripurna DPR ini, SEANDAINYA SAYA SBY, maka:
1. Saya menyadari bahwa adalah sudah terlambat melakukan lobi politik yang bertendensi membujuk fraksi-fraksi mengubah pendapat akhir mereka terkait dengan kasus Century. Itu sudah tidak mungkin karena:
a. Fraksi sudah tidak mungkin menyampaikan pandangan atau pendapat yang berbeda dengan kesimpulan akhir mereka di pansus. Kesimpulan akhir itu sudah sangat telanjang dan diketahui oleh semua anak bangsa. Jika Fraksi-fraksi menyampaikan pandangan yang berseberangan secara diametral dengan kesimpulan akhir mereka di Paripurna, maka berarti fraksi-fraksi atau partai bersangkutan memalukan dirinya sendiri. Mereka akan dicap sebagai banci, mencla-mencle, munafik, dan celaan lainnya. Mereka tidak akan mengorbankan kepentingan dan nama baik partainya hanya untuk membela kepentingan Demokrat. Kalau mau malu ya mereka sudah melakukan itu sudah sejak awal. Sekarang, setelah mereka dipuji oleh masyarakat dengan kesimpulan akhir yang begitu jernih, membela rasa keadilan masyarakat, dan berpihak pada kebenaran, maka apakah mungkin mereka akan menceburkan diri ke dalam kehinaan di hadapan rakyat? Jelas mustahil.
b. Kalau fraksi-fraksi menyimpang dari kesimpulan akhir mereka pada saat paripurna nanti, maka itu akan merusak demokrasi. Keputusan di paripurna DPR adalah keputusan tertinggi lembaga dewan yang dipilih rakyat secara langsung itu. Itu adalah keputusan institusi. Lembaga ini akan mengalami degradasi kepercayaan yang sangat buruk jika fraksi-fraksi mengubah kesimpulan mereka untuk sesuai dengan kemauan Demokrat. Demo akan merebak dimana menghujat lembaga DPR, menghujat partai-partai yang tadinya bilang “hitam”kemudian secara drastis bilang “putih”.
c. Secara psikologis politik, fraksi-fraksi yang berseberangan dengan “maunya demokrat’ juga sudah terlanjur muak dan kesal dengan intimidasi yang dilakukan oleh pihak Demokrat. Di awal-awal berjalannya Pansus, pihak-pihak yang dianggap “tidak mematuhi kode etik koalisi” sudah diintimidasi dengan kasus hukum dan reshuffle. Mitra Koalisi mbalelo digaungkan akan direshuffle dari cabinet; Aburizal Bakrie diintimidasi dengan kasus pajak 2,1 triliun; Setya Novanto dengan pajak INKUDnya yang kemudian juga menyeret-nyeret nama Idrus Marham; terakhir inisiator Century dari PKS, Misbakhun, diintimidasi dengan kasus L/C Fiktif. Intimidasi bukannya membuat pihak lawan ngikut dengan yang dimaui Demokrat, tetapi malah makin keukeuh dengan sikapnya. Nah, dengan begitu, apakah mungkin menjelang finis tiba-tiba mereka balik badan setelah babak belur melewati tahap yang begitu melelahkan dan ditonton secara leluasa oleh masyarakat banyak? Mustahil akli.
2. Saya juga menyadari bahwa adalah mubazir melobi parta-partai atau fraksi-fraksi di DPR apakah menyebut nama atau tidak. Itu sungguh tidak ada ada gunanya karena tanpa disebutkan nama pun, subjek yang dimaksud dalam kesimpulan fraksi-fraksi itu sudah sangat jelas alamatnya. Kalau disebutkan misalnya Menkeu ex officio Ketua KSSK, sudah pasti itu Sri Mulyani Indrawati; Gubernur BI pada saat itu, sudah pasti Budiono yang sekarang menjabat Wapres, dan seterusnya.
3. Kalaupun saya melakukan lobi politik maka isinya adalah
a. Tolong dong saya tidak ikut dibawa-bawa. Selama kasus ini bergulir, saya memang masih tidak “disentuh. Tapi saya menyadari bahwa perkembangan selanjutnya bisa saja mengarah ke saya jika saya tetap ngotot “mengatakan benar” untuk sesuatu yang salah. Partai politik yang tadinya tidak menyentil-nyentil saya, bisa saja mengorek lebih dalam apakah saya terlibat atau tidak. Persoalan akan menjadi lebih rumit jika dalam kesimpulan akhir nama saya ikut dibawa-bawa.
b. Tolong dong jangan direkomendasikan kasus ini dibawa ke ranah hukum. Jika mereka yang diindikasikan melakukan kesalahan dalam kasus Century, oleh Paripurna DPR direkomendasikan diusut secara hukum, maka MK dan Polri secara konstitusi wajib melakukan pengusutan itu secara proaktif. Kalau itu terjadi, jelas energi bangsa ini kembali akan terkuras. Disatu sisi kinerja pemerintah akan terganggu karena dua orang anggota Kabinet Indonesia Bersatu disibukkan oleh persoalan hukum. Disisi lain, energy masyarakat kembali dikuras untuk hal-hal yang tidak produktif.
c. Sebagai konsekuensi dari poin (a) dan (b) tadi, maka saya akan sampaikan kepada partai-partai mitra bahwa:
(1) Saya akan minta secara baik-baik kepada Sri Mulyani dan Budiono untuk mengundurkan diri. Saya akan jamin bahwa mereka akan mundur secara baik-baik. Adalah lebih terhormat secara moral dan lebih elegan jika mereka mengundurkan diri daripada harus dimundurkan oleh keputusan hakim. Itu juga lebih baik kepada jalannya pemerintahan. KIB jilid II tidak lagi diganggu oleh persoalan politik dan hukum yang tidak perlu, dan bisa lebih konsentrasi mengurusi hal-hal yang produktif. Jika mereka tetap bertahan, sungguh KIB II akan terus menerus berada di atas bara panas. Sehingga janji untuk mengurus rakyat dengan lebih baik dan lebih tepat pun jadi terbengkalai. Lebih baik “merelakan kepergian” dua orang daripada mengorbankan kepentingan rakyat secara keseluruhan.
(2) Saya akan janji kepada mitra koalisi, marilah kita melupakan “amarah” diantara kita yang telah disebabkan oleh kasus century ini. Ke depan, mari kita bahu membahu, bekerjasama dengan niat baik, untuk membangun bangsa ini demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
(3) Saya juga akan mengevaluasi posisi beberapa orang staf saya yang saya anggap telah melakukan langkah keliru, bahkan menjatuhkan citra saya sebagai Presiden. Beberapa staff itu diantaranya adalah Andi Arief, Amir Syamsudin, Ruhut Sitompul, dan lainnya
4. Saya akan meminta semua lemen pendukung saya untuk tidak ikut-ikutan melakukan demo karena hal itu hanya akan membikin suasana lebih gaduh dan menyusahkan bangsa secara keseluruhan. Para pendukung saya percayalah, semua ini akan berakhir sesuai dengan keinginan saya sendiri, insyaallah.
Dengan semua poin di atas, saya yakin, akan membawa kesejukan terhadap negeri ini pada . Amin!
Jakarta, 1 Maret 2010. (detik.com)

Mantan Menneg BUMN Sofyan Djalil Diperiksa KPK

Berita dunia,Jakarta - Setelah sempat mangkir, mantan Menneg BUMN Sofyan Djalil akhirnya memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sofyan akan dimintai keterangan terkait kasus skandal Bank Century.

Sofyan tiba di Gedung KPK, Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (2/3/2010) pukul 09.05 WIB.

Sofyan tidak memberikan komentar apa pun. Dia bergegas masuk ke dalam ruangan.

Sofyan pernah absen diperiksa pada Rabu 24 Februari 2010. Sofyan akan diperiksa terkait penempatan dana BUMN di Bank Century. Ada 3 BUMN yang menempatkan dananya di Bank Century pada saat Sofyan menjabat sebagai menteri.(detik.com)

Fraksi Gerindra Dikabarkan Gabung Kubu Demokrat

Berita dunia,Jakarta - Sidang paripurna DPR pengambilan keputusan Bank Century belum dimulai. Peta politik menjelang paripuna pengambilan voting terus berubah. Kabar terbaru, Fraksi Partai Gerindra memberi sinyal bergabung ke kubu Fraksi Partai Demokrat.

Fraksi Partai Gerindra selama ini getol menyuarakan kebijakan Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek (FPJP) dan Penyertaan Modal Sementara (PMS) sebagai kebijakan yang salah. Tapi, namanya juga politik, sikapnya bisa saja berubah tergantung lobi yang terjadi.

Hingga pukul 09.30 WIB, Selasa (2/3/2010), 26 anggota Fraksi Partai Gerindra masih dikonsolidasikan di gedung DPR. Namun, salah seorang anggotanya membisikkan bahwa Gerindra sudah memutuskan mendukung opsi A, bersatu dengan Fraksi Partai Demokrat, FPAN, dan FPKB.

Opsi A yang dimaksud menyatakan pemberian FPJP dan PMS tidak bermasalah karena dilakukan untuk mencegah krisis dan sudah berdasar peraturan perundang-undangan yang berlaku. "Suara Gerindra sudah fixed ke opsi A," terang anggota Fraksi Gerindra itu kepada detikcom.

Meski pagi ini semua anggota Fraksi Gerindra dikumpulkan, menurut dia, namun konsolidasi pagi ini tidak akan mengubah keputusan Gerindra untuk memilih opsi A.

Jika Gerindra benar berbalik arah mendukung Partai Demokrat dalam voting paripurna nanti, peta kekuatan voting berubah. Dengan tambahan Fraksi Partai Gerindra, maka pemilih opsi A akan bertambah menjadi 243 suara. Sedangkan pemilih opsi B, yang menyatakan pemberian FPJP dan PMS bermasalah akan berkurang menjadi 307 suara.(detik.com)