Senin, Maret 08, 2010

Duh Gusti ...

Isa Alïmusa – Amsterdam
*) Muslim di Malaysia keberatan pemeluk Kristiani menggunakan sebutan Allah. Tapi, bukankah Tuhan itu esa? Kata apa yang lebih patut?

Dengan khidmat seorang pastur berjalan menuju altar Gereja Santo Bavo di Haarlem, Belanda. Deretan jendela dihiasi kaca patri memantulkan sinar matahari lembut di akhir musim dingin. Di belakang altar, pipa-pipa orgel buatan Müller berdiri gagah sejak 1738. Pater Hayon Klemer memulai kebaktian dalam bahasa Indonesia, “Kepada Allah Yang Mahakuasa dan semoga Allah Yang Mahakuasa melindungi kita semua.”
 
Buat sebagian besar orang Belanda, kata Allah terdengar janggal di lingkungan gereja Katholik. Di Belanda, Allah identik dengan sebutan Tuhan yang dipakai oleh pemeluk Islam. Namun, tak ada yang naik pitam. Pendatang muslim asal Maroko dan Turki di Belanda pun nihil yang berang. Misa itu adalah perayaan lima tahun Paroki Migran Indonesia. Jemaatnya aktif dan tersebar di 11 kota besar, mulai dari Den Haag hingga Amersfoort. Sudah berabad-abad, kosa kata Arab Allah ‘dipinjam’ dalam Injil maupun Al Quran di Indonesia – tanpa protes ricuh ataupun debat theologi mengenai siapa yang lebih pantas menggunakan kata tersebut.



Lain dengan Malaysia, Januari silam pemerintah setempat melarang penganut Kristen menggunakan kata Allah karena menyinggung umat muslim. Namun, pengadilan tinggi Malaysia sebaliknya justru mengizinkan. Pater Lawrence Andrew, penerbit koran Katholik berpengaruh di Malaysia The Herald, menyatakan hormat terhadap otoritas setempat, tapi lebih berpegang pada putusan pengadilan tinggi. Tak disangka, ucapan pater Andrew menjadi minyak di atas api – Kuala Lumpur kisruh, gereja-gereja dibakar dan pemuda muslim menggelar aksi seusai shalat Jumat.

Mengapa kerusuhan justru terjadi di Malaysia (28 juta penduduk, 9% Kristen) dan bukan di Indonesia (240 juta penduduk, 10% Kristen)? Menurut Alle Hoekema, theolog di Vrije Universiteit Amsterdam, penyebabnya adalah kesenjangan sosial. “Umat Nasrani di Malaysia berasal dari Cina dan India. Kebanyakan adalah buruh atau pekerja kasar. Mereka tidak pernah dianggap golongan pribumi atau bumiputra,” jelas Hoekema. “Di Indonesia, agama Kristen disebarluaskan oleh misionaris. Dari permulaan, sudah jamak menyebut Allah Bapa(k),” tambahnya. Hoekema pernah bekerja beberapa tahun di gereja Indonesia.

Insiden di Malaysia memicu pertanyaan-pertanyaan menggelitik. Bukankah hanya ada satu Tuhan? Kristen, Islam dan Yahudi bersumber pada ajaran agama Abrahamik. Selain itu, pantaskah umat manusia memberi label Tuhan? Meister Eckhart (1260-1328), mistikus Kristen, pernah menulis  ‘suara manusia pun sudah bergetar sewaktu menyebut penguasa alam’.




Menurut Hoekema, penganut Yahudi lebih konsekuen. Sejak 300 tahun sebelum Yesus Kristus dilahirkan, tradisi Yahudi menghindari penyebutan dan penulisan Tuhan. Mengutip Keluaran 3:14 ‘Tuhan adalah Aku’ berarti Tuhan dengan sendirinya berada dalam kekekalan. Umat Yahudi dalam bahasa Ibrani lebih sering menggunakan penulisan JHWH (kependekan Jahweh) untuk menunjukkan Tuhan atau sewaktu berdoa – jika terpaksa ‘memanggil’ Tuhan – mereka memakai Adonai (Tuan).

Di Belanda pun ada sebagian umat Kristen merasa tabu melafalkan Tuhan. Mereka lebih senang menggunakan Yang  Tak Terbatas, Yang Abadi atau Yang Tak Terbandingkan. Uniknya, mereka bukan kaum konservatif, melainkan pengikut progresif yang menganggap penyebutan nama Tuhan tidak semestinya dan congkak.

“Belakangan, penggunaan kata Tu(h)an di gereja Indonesia mulai populer kembali. Bukan karena ancaman atau menghindari konflik, tapi lebih pada penekanan identitas. Kita semua hamba Allah,” tandas Hoekema.



>>Sumber: Mingguan Elsevier “Allah zij geprezen” (13-02-2010)<<

Tidak ada komentar: