Rabu, Maret 17, 2010

Mpok Encun, UMR dan Budaya Konsumerisme

Gemala Putri - Depok

*) Mpok Encun (bukan nama sebenarnya) seorang pembantu rumah tangga pulang hari di daerah Depok 
 
Di rumah saya ia bekerja 2 jam perhari dengan upah Rp 350 ribu perbulan. Upahnya termasuk besar untuk standar daerah itu apalagi ia bekerja di dua tempat walaupun sebenarnya masih jauh di bawah UMR.  
 
Suaminya seorang tukang ojek, salah satu dari sekitar 40 tukang ojek yang mangkal di pangkalan depan sebuah perumahan. Dengan pengaturan di pangkalan tersebut, sehari ia dapat mengantar penumpang yang akan menuju sisi dalam perumahan sebanyak 5 kali. Dengan ongkos Rp 4 ribu sekali antar, rata-rata penghasilan perhari sekitar Rp 20 ribu rupiah.
 
Kerap terlihat sang suami duduk duduk di pos bersama kawanan tukang ojek lainnya sementara Mpok Encun tergopoh gopoh menyelesaikan pekerjaan untuk kemudian pindah ke rumah berikut lalu setelah itu masih harus menyelesaikan pekerjaan rumah tangganya sendiri. Tampak jelas bahwa sebenarnya ekonomi rumah tangga cukup banyak bersandar pada Mpok Encun walau begitu nampaknya sang suami tidak begitu peduli walaupun bukan berarti ia melepas tanggung jawab.
 
Saya teringat waktu pertama kali ia bekerja di rumah saya, saya tidak sadar kalau ia sedang hamil.  Ibu saya yang bermata tajam langsung bisa menebak keadaan si Mpok.  Saya merasa serba salah, di satu sisi memang tidaklah manusiawi rasanya mempekerjakan wanita hamil, namun saya tahu pasti betapa si Mpok membutuhkan uang bagi keluarganya.  Akhirnya yang dapat saya lakukan adalah berusaha tidak memberikan pekerjaan yang terlalu berat.
 
Saat ia melahirkan anaknya, sang suami pagi pagi sudah mengetuk pintu rumah saya untuk meminta pinjaman Rp 200 ribu yang akhirnya tidak tega untuk ditagih mengingat keadaannya.
Pasangan ini mempunyai 3 anak, yang tertua bersekolah di SMEA. Yang menarik dengan kondisi yang bisa dibilang pas pas-an ini sang anak mempunyai handphone yang nampaknya selalu dalam keadaan siap pakai.    Dari sisi akal sehat, penggunaan pulsa handphone ditangan seorang remaja putri yang sedang senang senangnya bergaul sudah pasti sangat mempengaruhi pengeluaran rumah tangga.
 
Tidak heran Mpok Encun sering meminjam uang dari majikannya untuk macam macam keperluan yang akan dibayar dengan potongan gaji di bulan berikutnya.
 
Penggunaan handphone bagi kalangan yang belum berpenghasilan terutama kalangan bawah nampaknya merupakan salah satu pengaruh budaya konsumerisme. Bukan berarti kalangan bawah dilarang memiliki alat komunikasi tersebut, tapi sudah sewajarnya mereka harus pandai memilih mana yang lebih diperlukan agar tidak terus menerus berhutang. Mungkin apabila handphone tersebut digunakan oleh tiang keluarga maka akan lebih berdaya guna.
 
Satu lagi cerita singkat tentang Ibu Dedeh seorang pembantu rumah tangga yang suaminya menderita sakit sehingga beban keluarga harus ditanggung sendiri olehnya.
 
Suatu ketika Ibu Dedeh meminjam uang dari majikannya karena ia ingin menikahkan anak lelakinya. Ketika ditanya acara apa saja yang akan dilakukan, ternyata ia akan menyewa orkes dangdut dengan alasan malu dengan tetangga apabila pesta pernikahan anaknya terlalu sederhana.
 
Dalam pikiran lugunya yang penting pesta dulu masalah bagaimana pembayarannya nantilah dipikirkan. Ternyata justru orang orang seperti itulah yang paling rentan dengan budaya konsumerisme.  Karena pendapatan mereka yang kecil akan habis untuk sekedar membayar hutang hutang. 
 
Belum lagi habis kebingungan tentang masalah di atas, saya disodorkan bulletin dari suatu organisasi perempuan tentang kendala buruh perempuan untuk memperoleh upah dan hak hak lainnya yang menimbulkan berbagai macam perasaan di hati saya sebagai seorang buruh juga mengingat definisi kata “Buruh” yang mengacu pada seseorang yang bekerja untuk orang lain untuk mendapatkan upah dimana ia tidak mempunyai akses terhadap modal dan alat produksi . 
 
Hanya saja mungkin saya lebih beruntung, saya bekerja di perusahaan di sektor formal dengan gaji dan fasilitas hak tunjangan yang memungkinkan saya hidup memadai namun tidak berlebihan. Tapi secara kasat mata masih terlihat ketimpangan jika melihat pada strata terbawah dalam rumah tangga yaitu pembantu rumah tangga, dimana saya juga merasa serba salah dalam menyikapinya.
 
Jika kita membaca ketetapan UMR dimana upah minimum buruh perbulan sedikitnya di atas Rp 1 juta dengan waktu kerja maksimal 10 jam untuk dewasa dan 4 jam untuk pekerja dibawah umur, maka saya dapat diseret ke penjara karena memberikan upah sebesar Rp 400 ribu /bulan(bersih, semua biaya hidup seperti makan dan keperluan sehari hari sudah ditanggung) kepada pembantu rumah tangga selama ini  
 
Inilah salah satu deskripsi singkat tentang keadaan pembantu rumah tangga :
 
Ratna berusia 14 tahun waktu mulai bekerja di tempat saya, alasannya bekerja adalah untuk membantu ekonomi keluarga yang merupakan petani penggarap miskin di sudut Cianjur sana. Di rumah kecil saya yang hanya berkamar 2, ia mendapatkan kamar sendiri lengkap dengan TV berwarna 14 inch, walaupun kamar itu menjadi satu dengan ruang setrika.  
 
Ia mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang dimulai pukul 05:20 pagi. Ia sempat tidur siang dan malam hari tidur lebih dahulu dari saya. Tidak usah kuatir tentang memasak karena jika week end saya memasak dan mengurus anak sendiri. Selera saya pun cukup tahu, tempe dan sayur. 
Dengan situasi seperti apakah saya dianggap melakukan eksploitas terhadap anak? Entahlah saya tidak berani terlalu yakin.  
 
Logika sederhana saya berkata, jika saya memberhentikan anak ini karena saya tidak sanggup membayar upah sesuai UMR ditambah jaminan kesehatan maka anak ini akan kehilangan penghasilan, atau ia harus mencari majikan yang sanggup membayar dengan upah tersebut.
Jika saya ingin menyesuaikan upahnya dengan UMR, maka gaji saya harus naik drastis.
 
Mampukah perusahaan saya memenuhi ini. Dengan kata lain keuntungan perusahaan harus berlipat ganda karena harus membayar pegawainya berlipat pula. Atau saya memutuskan berhenti bekerja dengan konsekuensi pendapatan untuk rumah tangga berkurang banyak dan sudah pasti akan mempengaruhi pos pos pembiayaan yang telah disusun dengan seksama sebelumnya.
 
Bayangkan jika banyak pembantu rumah tangga di PHK karena majikan tidak sanggup membayar upah dengan standar UMR.   Tentu buruh migran akan semakin banyak dan apakah pemerintah sanggup melindungi para buruh migran tersebut di luar negeri.
 
Banyak sekali bagian bagian yang terkait dengan masalah ini.   Lagi lagi pemerintah sebagai pembuat peraturan dan organisasi buruh mungkin bisa duduk bersama para majikan agar mendapatkan solusi yang memuaskan semua pihak. Tentu saja standar upah pembantu rumah tangga di Indonesia tidak dapat dibandingkan dengan di luar seperti Malaysia misalnya yang mencapai Rp 1,6 juta per bulan jika dikurskan. 
 
Di Malaysia karena rata rata banyak warganya yang berpendidikan tinggi, sudah jelas kebutuhan pembantu tidak akan terpenuhi dari warga lokal dan nampaknya warga lokal yang berpendidikan rendah pun lebih memilih pekerjaan lain dari pada menjadi pembantu rumah tangga. Maka tidak heran tenaga kerja Indonesia yang karena terdesak oleh kebutuhan ekonomi membanjiri Negara tetangga itu untuk mengambil alih sektor informal tersebut.
 
Penduduk negeri jiran tersebut mampu membayar upah melebihi standar UMR dikarenakan memang kurs ringgit yang lebih tinggi ditambah tingkat kesejahteraan mereka yang melebihi Indonesia.
 
Dari situ mungkin dapat dilihat kaitannya dengan penetapan upah minimum bagi pembantu rumah tangga di Indonesia.
 
Merupakan pekerjaan tambahan bagi pemerintah untuk tidak sekedar menetapkan peraturan mengenai upah minimum bagi pekerja domestik tersebut tapi juga meningkatkan pendapatan perkapita masyarakat Indonesia umumnya agar kita sebagai buruh yang mempunyai pembantu rumah tangga dapat melaksanakan ketentuan pemberian upah minimum tersebut.
 
Untuk sementara ya saya baru dapat menggaji dengan jumlah segitu.  Dengan kata lain saya terpaksa pasrah deh jika harus dipenjara .....

Bung Karno Alergi, Ibu Negara Murka

Walentina Waluyanti – Holland

Kejadian “benci segi tiga” itu terjadi di era 1960-an. Ketika Bung Karno mengunjungi Filipina tahun 1964, suami Imelda, Ferdinand Marcos belum menjadi presiden. Ketika setahun sesudahnya, tahun 1965 suami Imelda diangkat menjadi presiden, Bung Karno memasuki ambang keruntuhannya.


Sukarno memang belum pernah bertatap muka dengan Imelda Marcos, mantan ibu negara Filipina. Walau kedua tokoh flamboyan tadi, Sukarno dan Imelda tak pernah bertemu, tapi keduanya mempunyai obyek yang sama untuk dimusuhi. Siapa musuh bersama mereka berdua?  Siapa lagi kalau bukan The Beatles.

Grup band asal Liverpool itu memang pernah bikin Bung Karno “alergi” dan bikin murka Ibu Negara Filipina, Imelda Marcos. Keduanya memang dikenal anti The Beatles, walau dengan alasan berbeda. Yang menarik, walau alasan anti The Beatles itu didasari latar belakang berbeda, tapi kisah tercecer di balik itu sama konyolnya. Inilah kisahnya!






Sudah banyak kita dengar kisah bagaimana Bung Karno melarang musik barat. Saya tidak ingin bercerita tentang Koes Plus yang dicekal karena musiknya yang ke-beatles-beatles-an. Itu sudah banyak kita dengar.

Dan bagaimana kisah perseteruan Imelda dengan The Beatles? Kenapa sampai John Lennon kapok dibuatnya? Kata John Lennon, “Saya tidak akan pernah mau lagi terbang ke Filipina. Bahkan cuma terbang lewat di atasnya juga ogah ah”, katanya.

Gara-garanya pengalaman pahit The Beatles ketika harus hengkang secara tidak menyenangkan dari Manila tahun 1966. Bagaimana kisahnya hingga Imelda yang tadinya kesengsem pada The Beatles, tiba-tiba jadi sangat murka pada anak-anak band itu?

Sebelum menengok insiden Imelda dengan The Beatles, sejenak kita tengok dulu situasi di tanah air tahun 1960-an. Anda tahu kan, bagaimana Sukarno memberantas musik ngak ngik ngok, termasuk musik Beatles dan Beatlemania di Indonesia.

Bukan cuma musiknya, tapi gaya rambutnya pun dilarang. Tukang cukur dilarang melayani pelanggan yang ingin memotong rambut ala The Beatles.





Razia rambut gondrong dilakukan di mana-mana. Bung Karno menyinggung dalam pidatonya tahun 1964, dia memerintahkan polisi untuk membawa anak-anak muda berambut model Beatles ke tukang cukur. Itu pidato resmi. Tapi di luar pidato, Bung Karno dengan tegas memerintahkan agar yang berambut gondrong dibikin plontos.

Kenyataannya, polisi memang tidak perlu membawa ”pasukan gondrong” ke tukang cukur. Karena polisinya sendirilah yang jadi tukang cukurnya. Inilah mungkin razia paling konyol dalam sejarah Indonesia. Karena orang yang kena razia, terpaksa manut saja model kepalanya dibikin kayak kelapa....langsung di tengah jalan! Jadi tontonan orang-orang.

Lha, polisi kok disuruh jadi hair-stylist dadakan. Hasilnya, tentu saja kepala anak-anak muda itu jadi pitak tidak karuan. Dan orang yang  menonton tertawa-tawa. Apes anak-anak muda itu. Kètèrlaluan bah! Musiknya tak boleh, rambutnya haram......dan itu pun masih belum cukup!

Ternyata razia musik, razia rambut masih pula diikuti razia lain. Yaitu razia celana jengki, celana bray-cut, celana ketat ala The Beatles. Dilarang pakai celana ketat! Untuk menentukan seberapa ketatnya celana, polisi tidak perlu pusing-pusing. Cukup pakai botol bir. Jika di ujung celana di pergelangan kaki itu botol bir tidak bisa lagi dimasukkan, ini artinya celana itu terlalu ketat. Sebagai hukuman, celana itu harus digunting sampai paha. Gampang kan?

Senjata polisi cukup botol bir dan gunting. Jadi si korban razia tadi, sudah kepala pitak, celananya  dibikin model kolor pula! Walaaah.....mau ikut mode, malah jadi salah model. Tidak heran penonton di jalanan jadi terpingkal-pingkal bersorak-sorai melihat dagelan gratisan  itu.

Sebetulnya yang jadi soal bukan ngak ngik ngok-nya. Bukan soal gondrong dan celana jengki.
Bukan soal “Amerika kita setrika, Inggris kita linggis” (jargon Bung Karno). Juga bukan soal dikipasi kelompok kiri. Sukarno bukan type plintat-plintut yang mudah dikipasi.

Masalahnya budaya  ngak ngik ngok dan gaya anak-anak band itu, di mata Bung Karno, disuntikkan oleh imperialisme kapitalis. Buat Bung Karno,  para imperialis itu hanya ingin merangsek Indonesia dengan segala cara. Termasuk melalui budaya. Itu yang jadi kutil dan bikin alergi Sukarno. Kebetulan saja yang terdengar dilarang adalah Beatles. Karena waktu itu band ini sedang digandrungi. Tapi sebetulnya yang juga ikut dilarang adalah musik barat produk kapitalisme lainnya, plus dansa-dansinya, termasuk musik Elvis Presley. Untung saja model jambul Elvis tidak ikut-ikutan dilarang.




Larangan musik tadi ikut bikin putra Bung Karno, Guntur Sukarnoputra yang waktu itu masih remaja jadi mangkel juga. Padahal Guntur itu hobby-nya musik. Sejak kelas 5 SD sudah main gitar dan punya kelompok band. Ketika SMP Guntur membentuk band Ria Remaja. Sebagai anak muda Guntur juga ingin mencoba memainkan musik yang sedang trend. Termasuk musik The Beatles yang dikatakan bapaknya ngak ngik ngok.

Guntur bercerita dalam wawancaranya, “Kalau ketahuan oleh Bung Karno saya ikut main musik, ya dipelototin atau ditegur. Hey, kamu main ngak ngik ngok, ya? Awas, jangan main lagi!”. Lalu dilanjutkannya, “Tapi kalau nggak ketahuan ya saya main lagi....ha...ha...ha...”

Di luar larangan musik barat, Bung Karno kadang “kena sentil” juga oleh joke orang-orang terdekatnya. “Kalau cewek western pasti Bung ndak bisa nolak kan?”. Menolak Marylin Monroe? Mana tahan. Rasanya tak akan ada yang percaya Bung Karno bisa bilang “NO” buat cewek, tidak perduli dia dari barat, utara maupun selatan. Memang susah cari presiden tanpa cela. Seperti kata Sukarno, “manusia mana yang tidak punya kekurangan?”.





Itu tadi kejadian anti The Beatles di Indonesia. Nah sekarang bagaimana ceritanya sampai Imelda Marcos jadi benci setengah mati  pada The Beatles? (Tentang Imelda, baca tulisan saya berjudul “Diva Poltik Paling Rakus Sedunia?”)

Bung Karno sejak semula menolak The Beatles karena alasan ideologi. Lain dengan Imelda. Tadinya ibu negara ini memang sengaja mengundang The Beatles ke istana Malacanang karena memang demen  plus demam The Beatles. Maklum, The Beatles lagi jaya-jayanya. Jadi idola di seantero dunia.

Ketika itu The Beatles diundang oleh penyelenggara showbiz untuk konser di Manila. Lalu berangkatlah mereka ke Manila. Saat mereka sedang beristirahat di hotel, tiba-tiba ada permintaan  mendadak dari ibu negara, agar mereka segera datang ke istana. Rupanya Imelda ingin pertunjukan khusus untuknya di istana. Undangan Imelda ini tak terduga, dan  itu di luar jadwal show. Karena itu dengan enteng The Beatles menolak undangan itu.

Akibat penolakan tadi, Imelda Marcos sang ibu negara menjadi  menjadi sangat murka!
Ini penghinaan terhadap ibu negara! Pasangan suami istri Marcos yang bertangan besi itu ditakuti di seluruh Filipina. Lha anak-anak gondrong slebor dari Inggris itu kok berani-beraninya bilang “NO” pada istri diktator. Kira-kira yang ada di pikiran Imelda, “buseeet....belum kenal siapa saya!!!”.






Tapi sebetulnya penolakan The Beatles itu juga karena sejak pertama kali tiba di bandara, perasaan mereka sudah tidak nyaman. Ringo Starr bilang, di setiap sudut terlihat orang-orang bawa senjata. Selain itu, menurut George begitu tiba mereka tidak menerima respek yang pantas. Petugas membentak-bentak memberi instruksi. Padahal mereka sudah keliling dunia, dan di mana-mana mereka selalu dihormati. Jadi memang sejak awal kesan tentang Filipina sudah begitu menakutkan.

Kesan menakutkan itu semakin bertambah, ketika baru saja beristirahat di hotel. Sambil berbaring setelah perjalanan melelahkan, mereka sangat kaget ketika pintu kamar terdengar digedor keras sekali. Terdengar keributan di luar pintu. Begitu pintu dibuka, sejumlah petugas bersenjata membentak, “Cepat! Kalian harus segera ke istana sekarang juga! Kalian sudah ditunggu ibu negara!”. Padahal sebelumnya tidak ada perjanjian tentang itu. Permintaan mendadak yang memaksa-maksa dan dirasa tidak sopan itu, membuat mereka tak berpikir panjang, dan berkata “No, no, no!!!”.

Sesudah penolakan itu, The Beatles merasakan sangat jelas ada skenario yang diatur untuk mengintimidasi kehadiran mereka di Filipina.

Segalanya pun menjadi mimpi buruk. Setiap menit yang mereka lalui di Manila rasanya seperti seabad. Konser mereka dihadiri penonton yang jumlahnya seperti jumlah penonton festival nyanyi tingkat kecamatan. Padahal rencananya itu adalah pertunjukan akbar dengan massa bejibun.

                        
Reklame show The Beatles di Manila, 4 Juli 1966


Pelayanan di hotel tiba-tba menjadi sangat tidak ramah. Makanan dari hotel kelihatan sangat buruk sehingga mereka jadi tak berselera  menyantapnya.

Perlakuan lebih buruk lagi mereka terima ketika tiba saatnya meninggalkan Filipina. Untuk mencapai bandara, terpaksa mereka harus menumpang motor orang yang kebetulan lewat. Soalnya tidak seorang pun mau memberi mereka tumpangan mobil. Belum lagi caci maki yang mereka terima di sepanjang jalan. Orang-orang tak segan-segan meludah kasar di depan mereka. Bahkan mereka harus membawa segala peralatan sendirian karena tak seorang pun kuli pengangkut yang bersedia membantu.

Eskalator di bandara tiba-tiba berhenti pas ketika mereka hendak menapak kaki ke tangga berjalan itu. Padahal mereka membawa kopor dan peralatan berat. Terpaksa dengan ngos-ngosan mereka harus melalui tangga biasa. Beberapa orang kelihatan seperti ingin memukul dan menyerang mereka sambil memaki kasar, “Keparat! Kalian minggat sana sekarang juga!!!”.

Paul Mac Cartney bilang, di ruang tunggu bandara mereka memilih duduk di belakang serombongan biarawati yang kebetulan ada di sana. Perhitungannya, orang-orang di negara Katolik tidak akan berani menyerang orang yang berada di dekat biarawati. Paul menggambarkan, mungkin itu jadi pemandangan unik jika ada yang memotret adegan tadi. Maksudnya kombinasi kontras antara “the bad boys” dan biarawati yang alim santun.

Setelah bersusah payah, akhirnya mereka berhasil tiba di pesawat. Kontan mereka mencium kursi pesawat, karena kelegaan yang luar biasa. Rasanya seperti baru lolos dari maut.




Paul menuduh Marcos dan Imelda telah dengan sengaja menggunakan kediktatorannya mengatur orang-orangnya untuk  meneror mereka selama di Manila. Saking geramnya, Paul berkata, “Seandainya saya punya bom, saya sudah menjatuhkan bom di sana!”. Sejak itu mereka bersumpah tidak akan pernah mau lagi menginjakkan kaki di Filipina.

Belakangan, Imelda Marcos memberi komentar dalam wawancaranya ketika ditanya apa pendapatnya tentang musik The Beatles. “The Beatles? Saya tidak pernah suka musik mereka. Musik mereka mengerikan!”, kata Imelda.

Siapa sangka seorang ibu negara terhormat,  anggun dan cantik jelita bisa mengeluarkan pernyataan konyol semacam itu, hanya karena ngambek gara-gara maunya ditolak?





Ukuran suka atau tidak sukanya Imelda memang “suka-suka”. Sentral Imelda adalah “AKU”.
Begitu “AKU”-nya tidak dituruti, maka Beatles yang tadinya dinantinya di istana dengan suka cita, kini dibencinya dengan suka-suka. Kalau maunya dituruti bilang “nice”, kalau tidak dituruti bilang “ horrible”. Wah, rupanya orang terhormat bisa juga bereaksi kekanak-kanakan kalau maunya ditolak.

Dan bagaimana ukuran suka atau tidak suka dari Bung Karno? Buat Bung Karno, urusan suka atau tidak suka itu urusan nomor dua. Ini bukan soal “AKU”. Nomor satu itu ideologi. Yang penting jangan coba ganggu gugat ideologi anti imperialisme. Sentral Bung Karno adalah “ISME”. Begitu isme-nya dan isme Beatles tidak se-harmoni, maka gunting dan botol bir yang bicara. Jangan membandingkan Bung Karno dan Imelda dong! Jauh amat! Begitu kata anda.

Membandingkan Imelda Marcos dan Bung Karno? Yang satu penghamba imperialisme kapitalis kalau perlu mengorbankan karakter bangsa. Dan yang satu arsitek karakter bangsa, karena itu menolak  menghamba pada imperialisme kapitalis. Jelas beda jauh kan?


Walentina Waluyanti
Nederland, 27 Februari 2010