Senin, Maret 08, 2010

George Tak Salah Berantas Korupsi

Sigit Kurniawan - Jakarta

Buku "Membongkar Gurita Cikeas" (MGC)  masih menyisakan tanda tanya dan kontroversi. Hilangnya buku dari peredaran masih belum menemukan alasan yang jelas. Sementara, kecaman dan tudingan sumir dilontarkan kepada George Junus Aditjondro (GJA) selaku penulis buku, dari tudingan melakukan fitnah, pencemaran nama baik, dan cari sensasi, sampai predikat buku sampah lantaran karya itu dituduh tidak ilmiah.



 

Buku-buku tandingan yang dirilis di tengah kontroversi pun belum menjawab apa yang diprihatinkan George dalam MGC. Tidak ada fakta baru yang mencoba menyangkal tulisan George. Termasuk yang ditulis Setiyardi—mantan wartawan Tempo dengan judul “Hanya Fitnah & Cari Sensasi, George Revisi Buku.” Dalam pengakuannya, Setiyardi justru menilai bukunya sekadar resensi dan bersifat abal-abal saja.
 
Dalam carut marutnya kasus MGC, Jogja Bangkit Publisher—Galangpress Group merilis buku teranyarnya berjudul “Salahkah George Berantas Korupsi?” Buku setebal 160 halaman ini merupakan karya patungan tiga penulis, yakni Nurjannah Intan, Sigit Suryanto, dan Yuni Dasusiwi. Ketiganya dari tim editor Galangpress. Buku ini hadir untuk menjawab keingintahuan masyarakat pada carut-marutnya korupsi di Indonesia dan seputar buku kontroversial itu.

Buku bersampul wajah George ini  berisi kilas balik bagaimana George menulis buku ''Membongkar Gurita Cikeas'' dan silang pendapat setelah buku itu terbit. Buku itu juga berisi wawancara dengan GJA seputar komitmennya membongkar korupsi kepresidenan, metodologi penelitiannya, dan dilengkapi dengan lampiran-lampiran pendukung. 

Dengan rendah hati, kita akui nyaris tak ada—selain GJA— seorang intelektual dan peneliti yang berani menguak korupsi di ranah tabu, seperti militer, Timor Leste, dan orang nomer satu di negeri ini. George pun bukanlah orang baru yang melontarkan kritik korupsi kepresidenan dan hanya cari sensasi seperti yang dituduhkan belakangan ini.  

Buku ini mempertegas siapa sejatinya George. Mantan wartawan Tempo (1969-1979) yang lahir di Pekalongan tahun 1946 ini dikenal sebagai aktivis lingkungan yang cukup berpengaruh. Ia pun menekuni penelitian seputar sosiologi korupsi di negeri ini. Saking cintanya pada pembongkaran korupsi sistemik yang melibatkan kalangan kepresidenan, George memosisikan dirinya sebagai presidential watch—layaknya corruption watch, policy watch, maupun parliamentary watch.

Hasil risetnya ia tuangkan dalam seri bukunya.  Sebut saja “Kembar Siam Penguasa Politik dan Ekonomi Indonesia. LSSP: 2002”, “Dari Soeharto ke Habibie: Guru Kencing Berdiri, Murid Kencing Berlari: Kedua Puncak Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme Rezim Orde Baru. MIK: 2003”, “Korupsi Kepresidenan: Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga: Istana, Tangsi, dan Partai Penguasa. LKis, 2006.” Terakhir adalah buku MGC yang hangat digunjingkan ini. Seluruh Ringkasan karya-karya itu juga disajikan dalam buku ini dalam bookografi George (hlm. 139-155). Semua ia kerjakan secara independen.
 
Dikecam, diancam, maupun dicap sebagai tidak Indonesianis atau anti-Pancasila pun sudah menjadi santapannya sejak lama. Hasil riset tentang kekayaan dinasti Soeharto, misalnya, memaksa George mempertaruhkan kebebasannya. George dan keluarga pun pergi ke Australia untuk menghindari rezim represif itu. Namanya bukan George kalau tidak berhenti melawan dengan penelitiannya seputar korupsi kepresidenan. Bahkan, ia berani mengembalikan penghargaan Kalpataru kepada Presiden Soeharto saat mengetahui Bob Hasan dinominasikan sebagai penerima penghargaan itu padahal ia dikenal sebagai perusak hutan di Kalimantan. Konsistensinya pada penegakkan HAM telah mendekatkan dirinya dengan tokoh-tokoh prodemokrasi, seperti Mangunwijaya, Arief Budiman, dan Gus Dur.

Korupsi Sistemik

Buku yang terdiri dari tiga bab utama ini ingin mempertanggungjawabkan mengapa George memakai kata “Gurita” dan memunculkan kasus Bank Century sebagai subtitle buku MGC. George ingin memelekkan kesadaran masyarakat bahwa kasus korupsi yang saat ini terjadi bukanlah kasus sederhana. Korupsi muncul karena ada sistem sedemikian rupa yang dibentuknya dan susah dibongkar (sistemik).  Sebab itu, wacana Bank Century membuka mata bahwa jabatan ganda dalam pemerintahan, parpol, maupun bisnis sangat rentan dengan praktik KKN (hlm. 13). Kita bisa bandingkan dengan jaring-jaring gurita di buku MGC di mana beberapa orang di kabinet SBY juga mempunyai jabatan rangkap dan punya relasi dengan yayasan atau lembaga yang dikemudikan oleh keluarga SBY dan kroninya. Ini sangat kontradiktif dengan seruan lantang SBY “Katakan Tidak untuk Korupsi.”
 
George berkali-kali menegaskan bahwa korupsi yang terjadi disebabkan oleh sistem oligarki yang sudah menancap kuat. Oligarki sendiri merupakan bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya secara efektif dipegang kelompok elit kecil dari masyarakat, baik dibedakan menurut kekayaan, keluarga, atau militer. Ia memakai kerangka oligarki karena saat itu orang sibuk berdiskusi masalah korupsi saja. Padahal, kolusi dan nepotisme pun bagian dari korupsi.  Dengan membedah jaringan oligarki ini, George seolah ingin memberikan peta agar pemberantasan korupsi tepat sasaran dan efektif.

Metode Grounded Research

Buku ini juga mau menjawab tudingan pada MGC sebagai tidak ilmiah, sekadar kliping, bahkan sampah. Metode ini pun jadi bahan diskusi intensif di kalangan akademisi. Prof. Tjipta Lesmana, misalnya, menuding metode George tidak sesuai dengan prosedur standar keilmuan dan cenderung menyudutkan nama-nama besar. Ia saking merasa diri paling benar sempat-sempatnya menaruh dompet sebagai taruhan ketika diwawancarai stasiun televisi swasta—sebuah tindakan yang dikecam oleh kalangan akademisi lain sebagai tak mencerminkan sosok intelektual. Ramainya mempergunjingkan metode ini cenderung membuat substansi korupsi dalam MGC terpinggirkan.  

George, dalam buku ini,  memaparkan salah satu teori yang ia gunakan dalam menyusun MGC dan buku-buku korupsi kepresidenan lainnya adalah grounded research—sebuah teori penelitian yang dipopulerkan oleh Barney G. Glaser dan Anselm L. Strauss. “Perlu dipahami, seorang peneliti bisa mencari data empiris berupa data primer atau sekunder. Setelah data itu terkumpul, peneliti bisa menganalisis dan mencari hubungannya. Saya mengumpulkan data dan memilah-milahnya berdasarkan kategori,” kata George (hlm. 84).

Kalau kita baca buku-buku George yang lain, kita akan tahu George sebagai seorang peneliti yang telaten. Kliping hanyalah salah satu kegiatan ilmiahnya untuk mengumpulkan data. George, dalam paparannya tentang teknik-teknik investigasi korupsi, menegaskan ada banyak cara mengendus jaringan korupsi. Menggali selengkap mungkin silsilah keluarga para pejabat negara sangat dibutuhkan. Termasuk menggali nama-nama perusahaan dan yayasan yang berkaitan pejabat publik melalui iklan duka cita/suka cita di media cetak. Buku telepon, internet, para broker, para pemain olahraga yang sering jadi tameng sindikat bisnis, akte notaris, dan sebagainya juga jadi syarat utama. Termasuk menggunakan para whistleblowers (orang dalam) yang selama ini ia sembunyikan namanya (bdk. George, 2002).

Akhirnya, buku ini seperti mau memberi pesan bahwa memberantas korupsi itu hak dari setiap warga negara—salah satunya George Junus Aditjondro. Setiap warga negara berhak menelisik dan menjadi ‘polisi’ untuk mengawal kinerja pejabat yang telah disumpah mengemban amanat rakyat itu. Rakyat berhak mendapatkan kembali uang, kekayaan, dan hak-hak yang telah dicuri maupun dirampas oleh mereka yang punya kuasa. Oleh karena itu, segala upaya pemberantasan korupsi ini layak didukung sekuat tenaga. “Perjuangan tidak boleh dalam satu helaan nafas. Setiap orang harus bernafas panjang untuk melakukan perjuangan yang berat,” tandas George.

George dihadapkan pada gurita korupsi bagaikan David melawan Goliath. Sebab itu, selain dibutuhkan cara jitu, korupsi harus diperangi secara bersama-sama. Mengutip apa yang dikotbahkan Uskup Agung Dom Helder da Camara: “Ketika satu orang bermimpi, maka hal itu akan tinggal sepotong mimpi semata. Tapi, ketika kita bersama-sama bermimpi dan mewujudkannya, hal itu akan menjadi kenyataan.”

George pun tak salah berantas korupsi.






*) sumber: blog personalku http://katakataku.com

Tidak ada komentar: