Senin, Maret 15, 2010

Daerah Istimewa Surakarta

Handoko Widagdo - Solo

Setelah jenuh dengan berita-berita Century, masyarakat Surakarta saat ini sedang bergairah membahas kembalinya Daerah Istimewa Surakarta sebagai sebuah provinsi. Hal ini dipicu oleh wacana dari DPRD Jawa Tengah yang ingin memindahkan Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah ke Solo. Ini bukan wacana main-main, sebab konon katanya sudah dimasukkan dalam rancangan tata ruang wilayah provinsi (RTRWP). Selain ramai dibicarakan di kalangan masyarakat, gagasan pemindahan ibu kota Provinsi Jawa Tengah juga ditanggapi secara serius oleh para pejabat Solo dan kabupaten-kabupaten eks Karesidenan Surakarta. Bahkan menjadi Tajuk Rencana SOLOPOS, korannya Wong Solo.
 
Semua pejabat dan intelektual menyatakan bahwa Solo memang siap menjadi ibu kota provinsi. Konon katanya, pemindahan ibu kota provinsi tersebut adalah upaya untuk membendung pembentukan Provinsi Daerah Istimewa Surakarta. 
 
Daerah Istimewa Surakarta? Apa tidak salah tulis? Yang ada kan Daerah Istimewa Yogyakarta atau DIY? Kok bisa DIS? Mungkin para pembaca akan bertanya-tanya demikian, ketika pertama mendengar tentang Daerah Istimewa Surakarta. Padahal Daerah Istimewa Surakarta memang benar-benar ada, atau setidaknya pernah ada. 
 
Baiklah saya ringkaskan sejarah keberadaan DIS dari salah satu tulisan tentang DIS di SOLOPOS Hari Selasa tanggal 9 Maret 2010, sebagai berikut: Pada saat Indonesia merdeka, tahun 1945, tepatnya tanggal 19 Agustus 1945, atau dua hari setelah proklamasi kemerdekaan, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) melakukan rapat untuk menentukan Provinsi-Provinsi di Indonesia yang baru berumur 2 hari. PPKI memutuskan bahwa Indonesia terdiri dari 8 Provinsi plus dua daerah istimewa. Kedelapan Provinsi tersebut adalah Provinsi Sumatra, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan, Sulawesi dan Sunda Kecil. Sementara dua daerah istimewa adalah Daerah Istimewa Djogjakarta dan Daerah Istimewa Surakarta. Pada tanggal yang sama, Presiden Sukarno membuat piagam pengakuan untuk kedua daerah istimewa tersebut. Seperti halnya DIY, kepala DIS juga ditetapkan langsung oleh presiden. Untuk DIY, Sultan Hamengku Buwana dan Paku Alam ditunjuk sebagai Kepala dan Wakil, sedangkan untuk DIS ditetapkan Paku Buwana dan Mangku Negara sebagai Kepala dan Wakil. Demikianlah penjelasan Kusno S Utomo, staf peneliti Badan Persiapan Pengembalian Status Daerah Istimewa Surakarta dalam artikel tersebut.  
 
Selanjutnya Kusno menyatakan bahwa karena sengketa politik pada tahun 1946, akhirnya status istimewa tersebut untuk sementara dikembalikan kepada negara. Sebagai respons atas kesepakatan itu, pemerintah pusat menerbitkan Peraturan Pemerintah No 16 SD/1946 tanggal 15 Juli 1946 tentang Pemerintahan di Daerah Istimewa Surakarta dan Djogjakarta. Dimana salah satu diktum didalamnya menyebutkan bahwa DIS akan dikembalikan ketika situasinya telah normal kembali. 
 
Sebenarnya gagasan pembentukan Provinsi Surakarta sudah cukup lama. Setidaknya pernah muncul menghangat setelah era reformasi. Pada tahun 1998, pernah ada joke di Harian SOLOPOS tentang Republik Surakarta. Karena sifatnya joke, maka wacana tersebut segera saja menghilang. Namun demikian, gagasan untuk membentuk provinsi bukanlah sekedar joke. Sebab beberapa seminar pernah digelar di Solo. Bahkan konon katanya, beberapa kabupaten seperti Ponorogo, Pacitan, Magetan dan Ngawi berminat untuk bergabung jika Surakarta menjadi provinsi. Memang jarak kabupaten-kabupaten tersebut lebih dekat ke Solo daripada ke Surabaya. Gagasan yang sempat diseminarkan tersebut kemudian meredup lagi karena menurut kajian, wilayah calon provinsi tersebut tidak akan mampu menghasilkan Pendapatan Asli Daerah yang memadai untuk menghidupi provinsi baru. 
 
Perkembangan Kota Solo dan kabupaten-kabupaten se-eks Karesidenan Surakarta yang pesat saat ini menyebabkan gagasan pemisahan Surakarta dari Jawa Tengah kembali menghangat. Kerjasama Ekonomi Solo Raya telah dibentuk dan dijalankan. Ini bisa menjadi cikal bakal pembentukan provinsi. Itulah sebabnya DPRD Jawa Tengah melontarkan gagasan pemindahan ibu kota provinsi. Wacana pemindahan provinsi tersebut membangkitkan kembali semangat untuk mengembalikan Daerah Istimewa Surakarta.  
 
Sebagai Wong Sala saya gembira kota saya diwacanakan menjadi Ibukota Provinsi Jawa Tengah atau bahkan menjadi provinsi baru. Tapi, apakah benar Surakarta atau Solo Raya sudah siap mengemban kembali keestimewaannya, jika Keraton Kasunanan saja sekarang punya Raja kembar?
 
 
 

Bibit Unggul?

Juwita Setiono – Australia



Zev, Cy dan rekan KoKiers,
Pagi ini saya membaca berita yang cukup menarik berjudul: “Baby Sex Selection”, tentang usulan undang-undang yang mengijinkan pasangan untuk memilih jenis kelamin bayi.

Saya sempat termenung. Apakah perlu seorang calon ibu repot-repot memilih jenis kelamin ‘calon’ bayinya? Bagaimana jika si bapak ingin anak laki-laki dan si ibu ingin anak perempuan? Bagaimana kalau nanti sudah diputuskan memilih anak laki-laki dan ternyata anak tersebut besar menjadi anak yang bandel nggak ketulungan, apa tidak membuat orangtuanya menyesal dan berkata: “Harusnya dulu kita memilih memiliki anak perempuan!” Dan apa yang memastikan kalau pilihannya tepat dan menghasilkan “bibit unggul”?

Profesor Gab Kovacs adalah salah seorang perintis Program Bayi Tabung (IVF). Beliau adalah Direktur Medik klinik bayi tabung “Monash IVF”. 
Klinik bayi tabung ini ada di beberapa lokasi di Australia, antara lain di: Melbourne, Brisbane, Rockhampton, Townsville, Geelong dan Auschenflower. Klinik Monash IVF ini juga berafiliasi dengan organisasi internasional. Semuanya dipimpin oleh team dokter profesional.

Dokter ahli kandungan Patrick  Steptoe dan Roberts Edwards adalah pelopor program IVF ini. Pada tahun 1978, pasangan Lesley dan John Brown berhasil mendapatkan anak lewat program bayi tabung. Bayi tersebut diberi nama Louise Brown. Dia lah bayi tabung pertama.

  


Australia berhasil dengan program bayi tabung pertama pada tahun 1980. Candice Reed sekarang berusia 30 tahun. Baginya program bayi tabung adalah bagian dari hidupnya, karena tanpa program ini dia tidak akan pernah dilahirkan di dunia ini.

Keberhasilan program bayi tabung ini mengundang perdebatan sengit. Program ini pada mulanya dituduh sebagai program ‘produksi bayi’ yang melawan kodrat.

Selang tiga puluh tahun kemudian, kontroversi kembali mencuat. Team dokter ahli di Australia yang dipimpin oleh Profesor Gab Kovacs sedang gencar mengusulkan agar diberlakukan undang-undang yang memperbolehkan pasangan untuk memilih jenis kelamin bayi.

Berikut ini beberapa alasan yang diajukan:
  • Biayanya tidak sedikit, berkisar antara $10,000 - $15,000. Jadi hanya pasangan yang benar2 sudah bertekad bulat yang akan meneruskan prosedurnya.
  • Biaya ditanggung “pasien”, jadi tidak membebani Departemen Kesehatan/Pemerintah.
  • Kemungkinan besar bayi yang dilahirkan memang ingin dilahirkan sebagai anak laki2/perempuan.
  • Kalau ada pasangan yang bersedia membayar mahal untuk proses bayi tabung dan pemilihan jenis kelamin bayi dan tidak diijinkan, lalu mereka mendapatkan anak secara natural tetapi jenis kelamin “yang salah”, ada kemungkinan anak ini ditelantarkan.
Saat ini pemilihan jenis kelamin bayi diijinkan di Australia hanya dalam kasus-kasus tertentu, misalnya jika ada penyakit keturunan yang hanya bisa diturunkan ke bayi laki-laki atau perempuan saja. Tetapi undang-undang yang mengatur hal ini akan segera berakhir dan peraturan baru bisa diberlakukan.

National Health and Medical Research Council (NHMRC) sedang mempertimbangkan peraturan baru yang mengijinkan pasangan untuk memilih jenis kelamin bayi, apakah untuk alasan kultur atau untuk menyeimbangkan jumlah anak laki-laki dan perempuan dalam satu keluarga.

Selesai membaca berita saya termenung lagi. Apakah perlu memilih jenis kelamin ‘calon’ bayi kalau bukan karena alasan medik? Apakah kasih sayang orangtua akan berkurang kalau anak yang dilahirkan ‘perempuan lagi’ atau ‘laki-laki lagi’?

Saya sendiri kakak beradik empat perempuan semua, kami rukun-rukun saja. Tetapi memang saya tidak pernah bertanya kepada Ibu saya apakah pernah punya keinginan punya anak satu lagi, siapa tau... laki-laki.

 


Apa pendapat rekan KoKiers mengenai hal ini?

Salam,  Juwita.

Huang

David Wirawan (Vids) - Singapore

‘Huang’ kata yang dia sebutkan, dan aku membalasnya dengan ‘David’ panggil aku ‘Vids’ aja lanjutku. Itu pertemuanku dengan seorang pemuda seumuranku saat perjalananku baru-baru ini ke Malaka. Ini perjalanan ke 3 kali aku ke Malaka, kali ini aku melihat banyaknya pembangunan disana sini terutama hotel besar dan mall-mall, tapi bagusnya pusat kota tuanya tidak berubah, semoga tetap dipertahankan.

Perjumpaanku dengan Huang memang suatu kebetulan belaka, saat menyisir pagi hari melihat jejak-jejak yang dulu pernah aku tinggalkan di Malaka, aku bertemu dengannya saat mengabadikan suatu ornament kecil di suatu rumah tua, dia juga melakukan hal yang sama, akhinrya kita saling berkenalan, ‘Hi I’m David’, kemudian dia balas ‘Huang’ , nice to meet you David."
Lalu dia melanjutkan menanyakan dari mana aku dan pas aku bilang Indonesia, dia langsung tertawa dan berkata ‘Wah sama, aku juga dari Jakarta’ . Akhirnya aku dapat teman hunting dalam perjalanan ini. Huang sangat senang dengan Malaka, dia seakan berkata setiap kali kesini aku seperti ke kampung halamanku, dan itu pun persis seperti kata-kata dahulu yang selalu aku ucapkan, seakan Malaka begitu menyatu denganku, sudut-sudut kotanya, aku sudah begitu hafal dengan kota ini.




Huang pun melanjutkan sebenarnya kita punya yang sama seperti ini di Jakarta, dan dia bercerita tentang bangunan-bangunan tua di sekitar pusat kota di kawasan Glodok yang mana masih menyimpan beberapa ornament Chinese peranakan, tapi…. Huang berhenti sebentar lalu melanjutkannya, seakan dia teringat sesuatu yang sangat dalam sewaktu bercerita itu, dan aku langsung mencoba menebak dalam hati, apakah ini peristiwa Mei 1998 lalu?
Ternyata dugaanku benar, Huang melanjutkan ceritanya, beberapa bangunan telah rusak, nilai sejarah telah hilang, menjadi abu, menjadi luka yang susah dihilangkan, komunitas Chinese peranakan yang seingatnya saat itu sedang berusaha membaur dengan penduduk lokal akhirnya banyak yang menjadi korban, mereka bukan orang kaya raya, mereka berdagang berjualan dari pagi sampai malam.
Pikiranku terbayang lagi sewaktu aku kecil dibawa mamaku kesana, yah mereka berjualan sayur, buah, obat-obatan di pinggiran jalan yang dikenal dengan Petak Sembilan, para penjual yang rata-rata etnis Tionghoa itu tiap hari menjajakan buah-buah itu didepan bangunan Glodok Plaza, mereka bukan orang yang berkecukupan, tapi mereka juga berdagang untuk hidup mereka, tapi mereka banyak yang menjadi korban, setelah kerusuhan Mei itu, mereka menjadi takut, merasa sebagai warga Negara Indonesia tapi masih dianggap seperti bukan WNI, dan mereka menjadi suara-suara yang diam karena lebih baik mereka diam agar tetap bisa melanjutkan hidupnya di Indonesia, karena memang mereka cinta Indonesia.

Huang berhenti sebentar dan menatapku, seakan ia ingin melihat ketulusan hatiku atau ingin menilai apakah aku bisa dia lanjutkan bercerita, aku pun memasukan sebutir rice ball ke mulutku, dan dia mulai lagi bercerita, Huang melihat rumah makan tua ini dan berkata, di rumahku juga seperti ini, lihat itu meja yang terbuat dari marmer, itu sudah ratusan tahun, begitu pula dengan pot-pot bunga cantik yang berlukiskan burung-burung dan pohon, berwarna putih dengan oretan berwarna biru, itu juga ada di rumah-ku dulu, dan lihat itu burung wallet yang berdiam di pojokan, dahulu juga banyak seperti itu di rumah-ku.
Tapi semua itu telah hilang, diambil, dibakar dan semua kenangan akan masa kecilku tidak ada lagi, photo-photo kecilku saat dari bayi sampai aku dewasa telah menjadi abu, rumah itu dibakar saat tengah malam saat kerusuhan, saat serangan pertama, barang-barang itu diambil dari rumahku, saat itu aku berada di depan rumah, aku menyaksikan sendiri bagaimana barang-barang orangtua-ku dijarah, dan aku menyaksikan tanpa bisa berkata apa apa, aku hanya memahami saat itu memang banyak rakyat miskin tapi mereka tidak begitu lapar untuk melakukan hal ini, beberapa orang disampingku melihat aku, kulitku memang agak hitam saat itu karena aku selalu berjemur, saat itu memang genting sekali bagi etnis Chinese karena mereka menjadi korban.
Huang berhenti sebentar mengambil es teh lalu melanjutkan lagi, saat itu ada beberapa orang yang berkata itu bukan barangku dan haram merebut barang orang lain, ada beberapa orang yang tidak peduli lagi merampas dan mengambilnya. Aku yang berdiri saat itu pun berkata, siapakah mereka ini yang begitu beringas, tapi dalam hati pun aku berkata puji Tuhan banyak yang moralnya baik. Dan aku pun selalu berdoa, dan aku menghubungi orangtua-ku yang berada di dalam rumah, sedangkan aku berada di depan menyaksikan semua ini. Dengan handphone Nokia Banana, aku menghubungi orangtua ku dan suara mama begitu bercampur aduk antara senang mendengar suaraku dan perasaan takut, aku cuma berkata, tenang, Huang ada di depan rumah, papa mama di dalam tenang aja, Huang akan menjaga situasi, kita berdoa saja, Huang minta papa saat nanti kalau suasana genting sekali dan harus pergi dari rumah, papa pegang mama dan jangan urusin harta. Tapi ternyata itu membuat mama tambah kawatir karena takut kalau aku diserang mereka.











Huang lalu melanjutkan ceritanya, Ia kemudian pergi ke tempat adiknya, karena adiknya masih kecil dan berada di rumah lain, saat itu keadaan begitu genting, beberapa rumah di sebalah rumah ortuku sudah dibakar, dan aku saat itu melintasi harus merasakan panasnya api membara, dan akhirnya aku bertemu dengan sebuah ojek, aku menanyakan ojek itu mau tidak untuk pergi ke Kalideres. Tanpa pikir panjang si ojek mau saja, aku berikan uang 20 ribu saat itu.
Huang berkata kepadaku, kamu tahu itu Slipi Jaya Plaza? Itu saat aku lewati dengan motor sedang dibakar, aku menyaksikan semua itu, dan selama perjalanan dari jalan Daan Mogot itu setiap kendaraan yang lewat di check untuk melihat orang tersebut etnis Chinese atau bukan, saat itu aku hanya berdoa dan selama diberhentikan, aku selalu lewat dan akhirnya aku tiba di rumahku, dan aku berkata kepada adikku tenang saja, mama papa baik-baik saja.
Aku pun langsung membeli persediaan makanan, Indomie dan juga karena pergaulanku dengan para tukang ojek, mereka membantuku, mereka berkata kalau ada serangan disini, kamu lari ke tempatku, dan aku saat pergi ke warung depan untuk memesan nasi, aku berkata kepada ibu penjual, bu tolong aku yah, kalau nanti ada serangan aku titip adikku disini.
Kepada adikku aku berkata, kalau nanti ada serangan karena mereka masih kecil, kalian lari menyusuri padi dan berhenti di warung makanan, kalian tinggal disana sampai aku kesana lagi menjemput.

Aku sudah berhenti dari kelezatan chicken rice ball yang terkenal itu, karena cerita dari Huang membuatku ter-focus seakan aku berada dalam peristiwa itu, Huang masih ingat sekali detil detil kejadiannya.
Huang berkata lagi semalaman dia berusaha mengontak mama papanya, ternyata tidak bisa lagi, perasaan kawatir sudah bertubi-tubi dan saat itu kami hanya berdoa dan saling menguatkan antar teman-teman dan tetangga. Kira-kira jam 3 pagi, papa telepon dari Mesjid Istiqal mengatakan kalau rumah sudah dibakar dan papa lari kesana, aku langsung menanyakan dimana mama?
Papa mengatakan kalau ia terpisah dari mama, aku kesal dan marah karena sebelumnya sudah aku katakana yang terpenting nanti saat kabur yang dipegang adalah mama, papa berkata karena papa saat itu juga menjaga nenek, jadi saat dibakar, semua terpencar.

Aku melihat mimik Huang, saat itu butiran air mengalir dari matanya, aku seakan mau memberhentikan semua cerita ini, tapi Huang melanjutkan lagi, Papa ngak bisa telp lama-lama karena itu handphone orang lain, dan papa memang tidak ada handphone, lalu aku berdoa lagi semoga Tuhan melindungi mama, dan tidak sampai 30 menit mama telepon, kalau dia berada di rumah penduduk lokal, mereka menyelamatkan mama dan menyuruh mama tinggal disana.
Saat itu aku bercampur aduk perasaannya, antara takut senang kawatir sedih, dan juga harus menjaga keadaan di sekitar rumah, 3 hari tidak tidur dan menyaksikan berita-berita di TV yang menakutkan dan akhirnya di hari minggu itu, papa pulang ke rumah, mama pun pulang hampir dengan saat yang bersamaan, kami berpelukan, aku sempat marah dengan papa karena melepaskan mama, tapi aku pun mengerti dan bilang lain kali tolong jaga mama, itu satu-satunya saat aku marah kepada papa.
Aku melihat mama memegang hanya satu tas, baju mereka cuma satu melekat di badan selama 5 hari kerusuhan, Tas yang mama pertahankan hanya berisikan dokumen akta lahir dan Kartu Kewarganegaraan Indonesia, karena Huang sekeluarga dari papa mama semua lahir di Indonesia. Dari semua harta cuma itu yang mama pentingkan, karena begitu susahnya diakui sebagai WNI, hanya selembar kartu tanda kewarganegaraan yang bisa mendapat pengakuan bahwa kami juga warga Negara Indonesia, kami lahir di Indonesia dan kami pun berjuang bersama sama untuk Indonesia.
Bolehkah kami yang kaum minoritas ini juga bisa merasakan Kemerdekaan, karena kami pun warga negara Indonesia”









Aku terdiam bisu menatap Huang, lalu Huang pun berkata itu masa lalu, sampai sekarang pun aku masih cinta Indonesia dan rasa nasionalis-ku masih tinggi, lain kali kalau kita bertemu lagi aku akan ceritakan kisahku lagi.
Ah bangunan ini beserta isi-isinya  ternyata membangunkan kisah-kisah lamaku, tapi aku senang sekarang negaraku sudah lebih maju dan semoga tidak ada lagi kerusuhan seperti dulu.
Terima kasih sudah menjadi pendengar yang baik, dan aku susah untuk menceritakan hal ini kepada orang lain.

Aku pun berkata, bolehkah aku tuliskan pengalaman ini untuk blogku dan KoKi dan mengambil photomu?

Huang berkata kalau kamu mau menuliskan ini, tolong dikasih liat ke aku dulu sebelum di-publish. Huang bertanya juga apa itu KoKi, dan aku menjelaskan sekilas tentang KoKi, dan dia berjanji akan melihatnya nanti.

Huang, terima kasih atas kisahmu, semoga kau selalu membagikan kisahmu bagi kami penerus bangsa ini, dari perjalanan malaka ini aku mendapatkan suatu pelajaran hidup lagi….




Semoga arti kemerdekaan ini bisa lebih berarti, bisa lebih dipahami, karena bagi para kaum minoritas, mereka pun juga berjuang demi bangsa dan mereka pun bagian dari bangsa ini.

Sisa-sisa Belanda Depok

Isa Alïmusa – Amsterdam

Lebih dari setengah abad Belanda sudah meninggalkan Indonesia sebagai negeri jajahan. Banyak cerita dan peninggalan yang diwariskan negara itu pasca penjajahan di Jawa yang telah berusia 250 tahun. Salah satunya, keberadaan keturunan 12 marga bekas budak yang dibebaskan saudagar tanah Belanda, Cornelis Chastelein. Mereka bermukim di kawasan Depok Lama, Bogor, Jawa Barat, dan kerap disebut Belanda Depok.
Suasana peringatan kemerdekaan Indonesia masih mewarnai Depok, Jawa Barat, hingga akhir Agustus lalu. Kibaran bendera merah-putih masih menghiasi rumah-rumah di sepanjang Jalan Pemuda, Depok Lama. Daerah ini dikenal sebagai tempat bermukim komunitas Belanda Depok. Kawasan ini berada di tengah-tengah kota Depok, di perbatasan antara kawasan Perumnas Depok I dan II. Jejeran rumah tua dengan konstruksi bangunan bergaya Belanda masih banyak ditemui di sekitar Jalan Pemuda.



Bendera merah-putih tak hanya berkibar di pemukiman warga, tetapi juga di gedung Sekolah Dasar Pancoran Mas dan SD Depok 2. Gedung sekolah ini dulunya adalah sekolah penginjilan dan sekolah anak-anak Belanda, sebelum dibubarkan pada tahun 1942.
Dijuluki si Belanda Keling atau Bule Depok

Laela Leander adalah salah satu keturunan Belanda yang tinggal di Depok. Namanya memang bermarga Belanda, tapi wajah Laela lebih tampak keturunan Ambon, kulit hitam dan rambut keriting. Laela adalah generasi ke tujuh marga Leander yang tinggal di Depok. Meski mengaku jarang berbaur dengan warga di luar komunitasnya, Laela mengaku jiwanya tetap merah-putih. “Sangat penting buat saya. Arti kemerdekaan buat kita juga. Istilahnya orang Depok yang sudah berbaur tambah bersatu lagi. Tak ada perbedaan dan harus terus dijaga,” tambahnya.
Semangat merayakan kemerdekaan terasa sampai pelosok gang. Berbagai lomba menjadi kegiatan rutin komunitas Belanda Depok tiap perayaan 17-an. Antonio Loen, yang sudah tinggal di sini sejak 60 tahun lalu, adalah salah seorang sesepuh Belanda Depok. “Macam-macam kegiatan olah raga. Catur, badminton, tarik tambang sampai panjat pinang. Kita selalu ikut,” ujarnya.


Meski sudah bertahun-tahun tinggal di Depok, sebutan Belanda Depok ternyata meresahkan Sisca Bacas. Ia merasa sebutan itu membuatnya diperlakukan berbeda dengan warga Indonesia lain. Padahal, lahir batin, ia mengaku orang Indonesia. “Sama saja. Kami ikut merayakan seperti warga negara Indonesia lainnya. Setelah proklamasi kemerdekaan, tak ada lagi perlakuan istimewa. Saya pun termasuk angkatan sesudah proklamasi dan tidak merasa generasi khusus,” ungkapnya.
Demi memelihara nasionalisme, Lembaga Cornelis Chastelein (LCC) yang beranggotakan keturunan Belanda Depok, mewajibkan setiap sekolah di kawasan komunitas ini untuk menggelar upacara bendera tiap 17 Agustus, sama seperti sekolah lainnya. Ketua LCC, Valentino Jonathans, menegaskan, tak ada alasan untuk tidak ikut merayakan kemerdekaan bangsa ini. Ia menggarisbawahi komunitas Belanda Depok tetap orang Indonesia, meski ada kata Belanda di sana. “Kami bukan antek Belanda,” sergahnya.
Saya kira sama saja, kita bangsa Indonesia bukan bangsa di luar Nusantara. Jadi tetap merayakan 17 Agutus tidak berbeda dengan yang lain. Sampai saat ini, sekolah-sekolah di bawah yayasan juga mengadakan perlombaan-perlombaan. Bahkan, 17 Agustus upacara di sini. Dibilang Belanda Depok kita juga keberatan, karena kita asli orang-orang Indonesia yang diambil Cornelis Chastelein dari daerah timur yang dididik dan dibesarkan di sini,” imbuh Valentino Jonathans.


 
Kini, sebetulnya sudah tak ada lagi yang murni bisa disebut Belanda Depok. J.J. Rizal, sejarawan Universitas Indonesia, berkisah, sebagian besar mereka telah kawin campur dengan warga sekitar. “Sekarang sudah tak ada lagi. Dulu, memang anak emasnya pemerintah kolonial. Bahkan sempat punya presiden Depok dan turunannya masih ada sekarang. Tahun 60-an berubah sama sekali. Banyak perkawinan campur dan tak ada lagi orang Belanda asli di Indonesia, terutama di Bali dan Indonesia bagian timur. Yang menarik adalah cara mereka berasimilasi dan bermasyarakat melalui bintang sepak bolanya. Seperti Soedira itu bintang sepak bola Depok,” terangnya.
Misionaris Protestan terkucil

Sebenarnya, bagaimana asal muasal Belanda Depok ini? Belanda Depok tak lepas dari sejarah penjajahan Belanda. Ketika VOC masih berkuasa di sekitar tahun 1696, Cornelis Chastelein membeli tanah seribuan hektar mencakup Depok yang kita kenal kini. Sebagai tuan tanah, Chastelein mempunyai 100-an pekerja. Mereka didatangkan dari Bali, Makassar, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Jawa, Pulau Rote serta Filipina. Ia juga menyebarluaskan agama Kristen kepada para budaknya, lewat sebuah Padepokan Kristiani. Padepokan ini bernama De Eerste Protestante Organisatie van Christenen¹ (Organisasi Kristen Protestan Pertama) atau disingkat Depok. Dari sini rupanya nama kota ini berasal.
Menjelang tutup usia di tahun 1714, Cornelis Chastelein menulis surat wasiat: “...Maka hoetang jang laen jang disabelah timoer soengei Karoekoet sampai pada soengei besar, anakkoe Anthony Chastelein tijada boleh ganggoe sebab hoetan itoe misti tinggal akan goenanya boedak-boedak itoe mardaheka, dan djoega mareka itoe dan toeroen-temoeroennja tijada sekali-sekali boleh potong ataoe memberi izin akan potong kajoe dari hoetan itoe boewat penggilingan teboe... dan mareka itoe tijada boleh bikin soewatoe apa djoega jang boleh djadi meroesakkan hoetan itoe dan kasoekaran boeat toeroen-temoeroennja,...
Selain wasiat itu, Cornelis Chastelein juga mewariskan tanahnya kepada seluruh budak yang telah mengabdi kepadanya sekaligus menghapus status budak menjadi orang merdeka. Ada 12 marga² yang sempat menjadi pekerja Cornelis Chastelein, yaitu marga Jonathans, Leander, Bacas, Loen, Samuel, Jacob, Laurens, Joseph, Tholense, Isakh, Soedira dan Sadokh. Kini, sudah tidak ada lagi marga Sadokh karena sudah punah. Keturunan marga-marga inilah yang kerap disebut 'Belanda Depok'.
Ketua LCC, Valentino Jonathans mengatakan, setidaknya ada tujuh ribu warga komunitas Belanda Depok yang terdaftar di LCC. Mereka tersebar di berbagai daerah dan negara. “Pada awalnya memang ada 150 seperti yang saya ceritakan. Sekarang peninggalannya sekitar 7000-an kepala yang masih terdaftar di yayasan di Depok. Saya kira masih banyak juga yang belum terdaftar seperti di Jakarta, Bandung, Surabaya dan lain-lain. Juga banyak saudara-saudara kita yang tinggal di luar negeri,” ungkap Jonathans.
Di antara mereka, sepertiganya adalah keturunan asli Belanda yang menikah dengan orang Indonesia atau keluarga Belanda yang lebih senang tinggal di Indonesia. Sebutan Belanda Depok sebetulnya hanya label belaka bagi orang pribumi yang mendapatkan keistimewaan dari pemerintah Belanda kala itu. Mereka menyandang 12 marga pekerja Cornelis Chastelein.
Perlakuan khusus sulut kesenjangan sosial

Tapi, menurut sesepuh Belanda Depok, Antonio Loen, keistimewaan itu justru memicu kecemburuan warga lain. Mereka pun kerap dituding sebagai ‘antek’ sewaktu Belanda masih menduduki Indonesia. Bahkan, kebudayaan Belanda dan perayaan hari kelahiran Cornelis Chastelein ikut dilarang.


Sebenarnya, orang memberikan julukan Belanda Depok kepada kami sebagai penduduk asli Depok. Perilaku mereka seperti orang Belanda karena didikan Belanda. Sebelum pribumi mengenal bangku pendidikan, kami sudah sekolah. Tak heran, sewaktu revolusi 1945 warga Depok banyak yang tewas dibunuh pejuang karena dianggap antek Belanda. Mereka berpuluh-puluh tahun hidup mendapat keistimewaan Belanda,” papar Antonio Loen.

Marga Belanda pemberian Chastelein rupanya bukan satu-satunya pemicu kecemburuan sosial. Jamruh, sesepuh masyarakat Betawi di Depok, menambahkan, ini juga karena mereka kurang berbaur dengan warga sekitar. “Mereka dan anak cucunya yang 12 itu sampai sekarang sehari-hari menggunakan Bahasa Belanda. Di sekolah yang dulunya diharuskan berbahasa Indonesia mereka tidak mau dan tetap memakai Bahasa Belanda. Adat istiadat mereka pun seperti orang Belanda. Menolak dipanggil bapak, maunya oom atau meneer, yang perempuan tante,” jelasnya.
Kecemburuan ini memuncak di tahun 1950-an. Ratusan rumah orang Belanda Depok, yang kini menjadi Stasiun Depok Lama, habis dibakar warga sekitar. Penyebabnya, menurut Jamruh, karena mereka tak mengakui bendera merah-putih sebagai lambang negara. “Disuruh pasang bendera merah putih tidak mau. Menjawab salam merdeka juga menolak. Kemungkinan, ada dendam lama orang-orang yang berada di sekitar mereka. Mungkin, merasa tertekan oleh tuan tanah. Banyak masalahnya,” tambahnya.
Kini, komunitas Belanda Depok dan warga sekitar hidup damai. Jamruh bahkan kagum dengan kebiasaan dan komitmen komunitas ini dalam menjaga lingkungan. “Kalau yang namanya hukum, mereka tidak akan tawar-tawar lagi karena ada undang-undangnya. Tapi, kalau diajak musyawarah agak susah, karena mereka dasarnya hukum saja. Contohnya, diajak ronda tak bakal mau karena ada polisi. Begitu pula kebersihan, itu bukan tugas warga melainkan Dinas Pekerjaan Umum. Tapi kalau bayar Pajak Bumi dan Bangunan mereka duluan,” pungkasnya.
Catatan kaki:
  1. Versi lain menyebut Depok berasal dari singkatan De Eerste Protestantse Overzeese Kristengemeente (Kelompok Kristen Protestan Pertama di Luar Negeri). Selain itu, ada wacana lain yang menjabarkan Depok adalah akronim De Eerste Protestantse Onderdaanse Kristenen (Kelompok Rakyat Kristen Prostestan Pertama).
     
  2. Sesuai dengan jumlah 12 rasul.


>>Sumber: Radio Nederland Wereldomroep dan Tim KBR68H Jakarta “Merayakan 17 Agustus bersama Belanda Depok” (23-08-2007), Ilustrasi: situs depok.nl<<

Sony Corp vs Sony AK

Ryu & Yuka-chan no mama - Jepang


Dear Zev, AsMod dan KoKiers,
Beberapa hari ini di tanah air tercinta mulai menghangat persoalan adanya somasi dari Sony Corp terhadap teknoblogger Indonesia yang bernama Sony Arianto Kurniawan ( Sony AK ). Somasi dari Sony Corp ini dilakukan oleh kuasa hukum di Indonesia, Hadiputranto, Hadinoto & Patners. Somasi yang dilakukan pada awal bulan Maret 2010 ini mengacu pada keberatan Sony Corp terhadap situs pribadi Sony Arianto Kurniawan yang menggunakan nama "Sony " sehingga situs pribadinya, sony-ak.com. Inti surat somasi ini adalah Sony AK diharapkan untuk menghentikan semua penggunaan nama domain http://www.sony-ak.com miliknya.
Dalam hal ini Sony Corp beranggapan Sony AK menggunakan merek " Sony" yang merupakan milik Sony Corp. Apabila Sony AK setuju maka diminta untuk me- nandatangani surat pernyataan yang telah di persiapkan dan dilampirkan bersama surat somasi tersebut. Memang permasalahan seperti ini berulang kali terjadi baik di sengaja atau tidak disengaja karena kurang jelinya pengguna.
Sengaja, dalam arti sengaja mendompleng nama tenar dari nama tersebut plus mengkomersialisasikan nama tenar untuk kepentingan pribadi. Tidak sengaja karena kurang pahamnya HaKI atau kurang jeli, yang pasti tidaklah untuk tujuan komersialisasi seperti kasus Sony AK ini. Sony corporation adalah perusahaan elektronik yang terkenal di seluruh dunia, yang bermarkas di Tokyo, Japan.
Perusahaan Sony ini telah ada sejak tanggal 7 Mei 1946. Siapa yang tidak kenal nama Sony di dunia ini? Hampir semua paham bahwa Sony adalah nama merk dagang elektronik yang sudah di patenkan jauh hari. Permasalahan menjadi semakin rumit karena nama Sony tersebut. Sony Arianto Kurniawan adalah nama pemberian orang tua yang tidak bisa di ganggu gugat. Jadilah masalah somasi Sony Corp dikirimkan kepada Sony Arianto Kurniawan. Somasi inipun sebenarnya bukan jalan akhir bukan?
Permasalahan ini bisa di rundingkan dan di rembug secara baik -baik. Musyawarah untuk mencapai mufakat. Yang justru bikin saya terheran -heran adalah tanggapan dari para penggembira baik yang pro ataupun yang kontra. Kenapa kasus Sony Corp vs Sony AK di blow up sejadi-jadinya? Padahal Sony Corp dan Sony AK tidaklah seemosional para penggembira kasus ini. Seolah-olah kasus ini menjadi ajang caci maki dan menumpahkan segala kata-kata hujatan. Sebaliknya, saya baca jawaban somasi dari Sony AK cukup rasional dan tidaklah emosional. Silakan baca, 10 poin balasan jawaban somasi dari Sony AK,
http://www.detikinet.com/read/2010/03/12/151950/1317230/399/10-poin-balasan-sony-ak-ke-sony-corp
Herannya justru para penggembira alias pendukung Sony AK yang begitu beringas mencaci maki segala macam. Bahkan ada cukup banyak caci maki yang bikin saya terkejut yaitu caci maki yang kembali ke jaman penjajahan Jepang. Padahal pelaku sejarah di tahun 1940-an rata-rata sudah kembali ke alam baka bukan? Bukan berarti penulis melupakan sejarah. Cobalah bersikap fair. Mohon di pikir lagi, sekarang sudah tahun 2010, masalah inipun antara Sony Corp vs Sony AK, tidak perlu sampai mengungkit-ungkit hal-hal yang sudah lampau.
Memang betul Sony Corp adalah perusahaan yang bermarkas pusat di negara Jepang, akan tetapi apa hubungannya kasus Sony Corp vs Sony AK dengan penjajahan Jepang di masa lampau? Bahkan ada ajakan boikot produk Sony segala macam. Sampai - sampai menggalang dukungan terhadap Sony AK di facebook. Mengalang dukungan melalui Facebook tidaklah salah, akan tetapi lakukan dengan kata-kata sopan. Kalau hanya caci maki, maka orang pun tidak akan bersimpati bukan? Cobalah untuk berfikir secara rasional dan berkepala dingin. Belum tentu juga pihak Sony di Jepang paham makian -makian yang bertebaran di berbagai mass media online di Indonesia.
Sebelumnya perlu penulis tegaskan bahwa penulis tidak berkepentingan sama sekali dengan Sony Corp, bukan pula " orang " Sony Corp. Hanya saja penulis ingin mengajak para pembaca sekalian, " Marilah berpikir secara rasional, berkepala dingin terhadap masalah Sony Corp vs Sony AK ". Masalah HaKI ( Hak atas Kekayaan Intelektual ) memang susah -susah gampang dimengerti tapi memang penting untuk diketahui agar tidak terjebak dalam permasalahan seperti Sony AK. Pengertian Kekayaan Intelektual ini di kutip langsung dari Wikipedia.
Mohon dibaca dan direnungkan kembali bahwa memang HaKI adalah hak Sony Corp untuk mempertahankan apa yang sudah jauh hari di patenkan yaitu merek Sony. Kekayaan Intelektual adalah pengakuan hukum yang memberikan pemegang hak (atas) kekayaan intelektual (H[A]KI) untuk mengatur penggunaan gagasan-gagasan dan ekspresi yang diciptakannya untuk jangka waktu tertentu. Istilah 'kekayaan intelektual' mencerminkan bahwa hal tersebut merupakan hasil pikiran atau intelektualitas, dan bahwa hak kekayaan intelektual dapat dilindungi oleh hukum sebagaimana bentuk hak milik lainnya.
Hukum yang mengatur kekayaan intelektual di Indonesia mencakup Hak Cipta dan Hak Kekayaan Industri, yang terdiri atas Paten, Merek, Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu,Rahasia Dagang dan Perlindungan Varietas Tanaman Menurut sumber dari Detikinet, kesadaran HaKI di Indonesia masih dianggap minim, terutama oleh hal ini dirasakan oleh kalangan pelaku bisnis. Bahkan status Indonesia menurut United State Trade Representative ( USTR) masih dalam daftar hitam Priority Watch List. Tidaklah mengherankan kasus Sony AK pun terjadi bukan?
Memang benar sony-ak.com bukanlah mendompleng merek terkenal Sony karena isinya pun hanya artikel-artikel pribadi di bidang IT. Sony Ardianto Kurniawan menyukai hobi menulis dan berbagi ilmu di bidang IT. Kebetulan penulis pun suka dunia tulis menulis, jadi sedikit banyak paham posisi Sony AK yang terganjal urusan dengan Sony Corp. Sony AK di harapkan melepas domain nama sony-ak.com dan tidak menggunakan nama sony dalam situs pribadinya? Sungguh dilema yang berat buat Sony AK.
Akan tetapi Sony Corp pun berhak untuk melakukan somasi karena merek Sony sudah jauh hari dipatenkan, sedangkan sony-ak.com barulah di gunakan pada tahun 2003. Bila mengacu pengertian HaKI, memang hak Sony Corp untuk tidak memperbolehkan semua orang menggunakan merek sony. Apa gunanya merek sony di patenkan kalau semua orang bebas menggunakan nama " Sony " bukan?



Kasus Sony AK pun ada juga di negara lain seperti kasus Uzi Nissan. Pria ini datang ke negeri paman Sam ( USA ) untuk mengadu nasib dengan mendirikan usaha bisnis. Nama keluarganya adalah Nissan. Pria ini kelahiran Jerusalem, Israel. Tahun 1994, Uzi Nissan mendaftarkan domainnya nissan.com. Tak disangka berapa tahun kemudian Nissan Motor melakukan gugatan / somasi terhadap Uzi Nissan karena dianggap cybersquatting sekaligus mencatut nama Nissan Motor.
Cybersquatting adalah tindakan penyerobotan nama merek tertentu dalam nama domain, yang biasanya dijual kembali ke pihak tertentu dengan imbalan materi. Pada akhirnya pihak pengadilan USA memenangkan Uzi Nissan dengan alasan perbedaan jasa bisnis. Apalagi domain Nissan.com telah di daftarkan terlebih dahulu oleh Uzi Nissan. Kokiers, dari contoh di atas, kita bisa melihat bahwa setiap kasus tidaklah sama, masih harus dilihat alasan utama adanya domain tersebut. Pihak pengadilan yang akan menentukan bukan? Ajakan ini saya maksudkan supaya penggembira kasus Sony Corp vs Sony AK untuk tidak terlalu emosional.
Sony AK pun belum tentu harus melepaskan domain nama sony-ak.com, sebaliknya Sony Corp pun belum tentu menang atas tuntutannya bukan? Selaku penggembira ( baik pro dan kontra ) lebih baik dukung Sony AK dengan kata-kata sopan, sedangkan bagi yang kontra alias mendukung tindakan somasi Sony Corp tidak perlu terlalu berlebihan komentar. Biarkanlah pihak -pihak yang bersengketa menyelesaikan secara damai.
Akhir kata, penulis pun hanya merupakan salah satu penggembira yang netral. Saya tidak pro ataupun kontra terhadap Sony Corp dan Sony AK. Penulis pun bukan orang hukum, hanya sedikit paham tentang dunia ekonomi. Artikel ini hanyalah sekilas pandang dari orang awam sekaligus pihak netral. Mohon di koreksi oleh pembaca yang berkecimpung di bidang hukum. Kasus ini bagus sebagai pelajaran agar kelak lebih berhati-hati dalam menggunakan domain nama, lebih baik carilah domain yang tidak mirip atau jangan sama dengan merek terkenal. Tidak mengunakan domain nama merek terkenal berarti berkurang satu permasalahan serius bukan?




Salam hangat dari Jepang, Ryu & Yuka-chan no mama