Rabu, Maret 17, 2010

Mpok Encun, UMR dan Budaya Konsumerisme

Gemala Putri - Depok

*) Mpok Encun (bukan nama sebenarnya) seorang pembantu rumah tangga pulang hari di daerah Depok 
 
Di rumah saya ia bekerja 2 jam perhari dengan upah Rp 350 ribu perbulan. Upahnya termasuk besar untuk standar daerah itu apalagi ia bekerja di dua tempat walaupun sebenarnya masih jauh di bawah UMR.  
 
Suaminya seorang tukang ojek, salah satu dari sekitar 40 tukang ojek yang mangkal di pangkalan depan sebuah perumahan. Dengan pengaturan di pangkalan tersebut, sehari ia dapat mengantar penumpang yang akan menuju sisi dalam perumahan sebanyak 5 kali. Dengan ongkos Rp 4 ribu sekali antar, rata-rata penghasilan perhari sekitar Rp 20 ribu rupiah.
 
Kerap terlihat sang suami duduk duduk di pos bersama kawanan tukang ojek lainnya sementara Mpok Encun tergopoh gopoh menyelesaikan pekerjaan untuk kemudian pindah ke rumah berikut lalu setelah itu masih harus menyelesaikan pekerjaan rumah tangganya sendiri. Tampak jelas bahwa sebenarnya ekonomi rumah tangga cukup banyak bersandar pada Mpok Encun walau begitu nampaknya sang suami tidak begitu peduli walaupun bukan berarti ia melepas tanggung jawab.
 
Saya teringat waktu pertama kali ia bekerja di rumah saya, saya tidak sadar kalau ia sedang hamil.  Ibu saya yang bermata tajam langsung bisa menebak keadaan si Mpok.  Saya merasa serba salah, di satu sisi memang tidaklah manusiawi rasanya mempekerjakan wanita hamil, namun saya tahu pasti betapa si Mpok membutuhkan uang bagi keluarganya.  Akhirnya yang dapat saya lakukan adalah berusaha tidak memberikan pekerjaan yang terlalu berat.
 
Saat ia melahirkan anaknya, sang suami pagi pagi sudah mengetuk pintu rumah saya untuk meminta pinjaman Rp 200 ribu yang akhirnya tidak tega untuk ditagih mengingat keadaannya.
Pasangan ini mempunyai 3 anak, yang tertua bersekolah di SMEA. Yang menarik dengan kondisi yang bisa dibilang pas pas-an ini sang anak mempunyai handphone yang nampaknya selalu dalam keadaan siap pakai.    Dari sisi akal sehat, penggunaan pulsa handphone ditangan seorang remaja putri yang sedang senang senangnya bergaul sudah pasti sangat mempengaruhi pengeluaran rumah tangga.
 
Tidak heran Mpok Encun sering meminjam uang dari majikannya untuk macam macam keperluan yang akan dibayar dengan potongan gaji di bulan berikutnya.
 
Penggunaan handphone bagi kalangan yang belum berpenghasilan terutama kalangan bawah nampaknya merupakan salah satu pengaruh budaya konsumerisme. Bukan berarti kalangan bawah dilarang memiliki alat komunikasi tersebut, tapi sudah sewajarnya mereka harus pandai memilih mana yang lebih diperlukan agar tidak terus menerus berhutang. Mungkin apabila handphone tersebut digunakan oleh tiang keluarga maka akan lebih berdaya guna.
 
Satu lagi cerita singkat tentang Ibu Dedeh seorang pembantu rumah tangga yang suaminya menderita sakit sehingga beban keluarga harus ditanggung sendiri olehnya.
 
Suatu ketika Ibu Dedeh meminjam uang dari majikannya karena ia ingin menikahkan anak lelakinya. Ketika ditanya acara apa saja yang akan dilakukan, ternyata ia akan menyewa orkes dangdut dengan alasan malu dengan tetangga apabila pesta pernikahan anaknya terlalu sederhana.
 
Dalam pikiran lugunya yang penting pesta dulu masalah bagaimana pembayarannya nantilah dipikirkan. Ternyata justru orang orang seperti itulah yang paling rentan dengan budaya konsumerisme.  Karena pendapatan mereka yang kecil akan habis untuk sekedar membayar hutang hutang. 
 
Belum lagi habis kebingungan tentang masalah di atas, saya disodorkan bulletin dari suatu organisasi perempuan tentang kendala buruh perempuan untuk memperoleh upah dan hak hak lainnya yang menimbulkan berbagai macam perasaan di hati saya sebagai seorang buruh juga mengingat definisi kata “Buruh” yang mengacu pada seseorang yang bekerja untuk orang lain untuk mendapatkan upah dimana ia tidak mempunyai akses terhadap modal dan alat produksi . 
 
Hanya saja mungkin saya lebih beruntung, saya bekerja di perusahaan di sektor formal dengan gaji dan fasilitas hak tunjangan yang memungkinkan saya hidup memadai namun tidak berlebihan. Tapi secara kasat mata masih terlihat ketimpangan jika melihat pada strata terbawah dalam rumah tangga yaitu pembantu rumah tangga, dimana saya juga merasa serba salah dalam menyikapinya.
 
Jika kita membaca ketetapan UMR dimana upah minimum buruh perbulan sedikitnya di atas Rp 1 juta dengan waktu kerja maksimal 10 jam untuk dewasa dan 4 jam untuk pekerja dibawah umur, maka saya dapat diseret ke penjara karena memberikan upah sebesar Rp 400 ribu /bulan(bersih, semua biaya hidup seperti makan dan keperluan sehari hari sudah ditanggung) kepada pembantu rumah tangga selama ini  
 
Inilah salah satu deskripsi singkat tentang keadaan pembantu rumah tangga :
 
Ratna berusia 14 tahun waktu mulai bekerja di tempat saya, alasannya bekerja adalah untuk membantu ekonomi keluarga yang merupakan petani penggarap miskin di sudut Cianjur sana. Di rumah kecil saya yang hanya berkamar 2, ia mendapatkan kamar sendiri lengkap dengan TV berwarna 14 inch, walaupun kamar itu menjadi satu dengan ruang setrika.  
 
Ia mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang dimulai pukul 05:20 pagi. Ia sempat tidur siang dan malam hari tidur lebih dahulu dari saya. Tidak usah kuatir tentang memasak karena jika week end saya memasak dan mengurus anak sendiri. Selera saya pun cukup tahu, tempe dan sayur. 
Dengan situasi seperti apakah saya dianggap melakukan eksploitas terhadap anak? Entahlah saya tidak berani terlalu yakin.  
 
Logika sederhana saya berkata, jika saya memberhentikan anak ini karena saya tidak sanggup membayar upah sesuai UMR ditambah jaminan kesehatan maka anak ini akan kehilangan penghasilan, atau ia harus mencari majikan yang sanggup membayar dengan upah tersebut.
Jika saya ingin menyesuaikan upahnya dengan UMR, maka gaji saya harus naik drastis.
 
Mampukah perusahaan saya memenuhi ini. Dengan kata lain keuntungan perusahaan harus berlipat ganda karena harus membayar pegawainya berlipat pula. Atau saya memutuskan berhenti bekerja dengan konsekuensi pendapatan untuk rumah tangga berkurang banyak dan sudah pasti akan mempengaruhi pos pos pembiayaan yang telah disusun dengan seksama sebelumnya.
 
Bayangkan jika banyak pembantu rumah tangga di PHK karena majikan tidak sanggup membayar upah dengan standar UMR.   Tentu buruh migran akan semakin banyak dan apakah pemerintah sanggup melindungi para buruh migran tersebut di luar negeri.
 
Banyak sekali bagian bagian yang terkait dengan masalah ini.   Lagi lagi pemerintah sebagai pembuat peraturan dan organisasi buruh mungkin bisa duduk bersama para majikan agar mendapatkan solusi yang memuaskan semua pihak. Tentu saja standar upah pembantu rumah tangga di Indonesia tidak dapat dibandingkan dengan di luar seperti Malaysia misalnya yang mencapai Rp 1,6 juta per bulan jika dikurskan. 
 
Di Malaysia karena rata rata banyak warganya yang berpendidikan tinggi, sudah jelas kebutuhan pembantu tidak akan terpenuhi dari warga lokal dan nampaknya warga lokal yang berpendidikan rendah pun lebih memilih pekerjaan lain dari pada menjadi pembantu rumah tangga. Maka tidak heran tenaga kerja Indonesia yang karena terdesak oleh kebutuhan ekonomi membanjiri Negara tetangga itu untuk mengambil alih sektor informal tersebut.
 
Penduduk negeri jiran tersebut mampu membayar upah melebihi standar UMR dikarenakan memang kurs ringgit yang lebih tinggi ditambah tingkat kesejahteraan mereka yang melebihi Indonesia.
 
Dari situ mungkin dapat dilihat kaitannya dengan penetapan upah minimum bagi pembantu rumah tangga di Indonesia.
 
Merupakan pekerjaan tambahan bagi pemerintah untuk tidak sekedar menetapkan peraturan mengenai upah minimum bagi pekerja domestik tersebut tapi juga meningkatkan pendapatan perkapita masyarakat Indonesia umumnya agar kita sebagai buruh yang mempunyai pembantu rumah tangga dapat melaksanakan ketentuan pemberian upah minimum tersebut.
 
Untuk sementara ya saya baru dapat menggaji dengan jumlah segitu.  Dengan kata lain saya terpaksa pasrah deh jika harus dipenjara .....

Bung Karno Alergi, Ibu Negara Murka

Walentina Waluyanti – Holland

Kejadian “benci segi tiga” itu terjadi di era 1960-an. Ketika Bung Karno mengunjungi Filipina tahun 1964, suami Imelda, Ferdinand Marcos belum menjadi presiden. Ketika setahun sesudahnya, tahun 1965 suami Imelda diangkat menjadi presiden, Bung Karno memasuki ambang keruntuhannya.


Sukarno memang belum pernah bertatap muka dengan Imelda Marcos, mantan ibu negara Filipina. Walau kedua tokoh flamboyan tadi, Sukarno dan Imelda tak pernah bertemu, tapi keduanya mempunyai obyek yang sama untuk dimusuhi. Siapa musuh bersama mereka berdua?  Siapa lagi kalau bukan The Beatles.

Grup band asal Liverpool itu memang pernah bikin Bung Karno “alergi” dan bikin murka Ibu Negara Filipina, Imelda Marcos. Keduanya memang dikenal anti The Beatles, walau dengan alasan berbeda. Yang menarik, walau alasan anti The Beatles itu didasari latar belakang berbeda, tapi kisah tercecer di balik itu sama konyolnya. Inilah kisahnya!






Sudah banyak kita dengar kisah bagaimana Bung Karno melarang musik barat. Saya tidak ingin bercerita tentang Koes Plus yang dicekal karena musiknya yang ke-beatles-beatles-an. Itu sudah banyak kita dengar.

Dan bagaimana kisah perseteruan Imelda dengan The Beatles? Kenapa sampai John Lennon kapok dibuatnya? Kata John Lennon, “Saya tidak akan pernah mau lagi terbang ke Filipina. Bahkan cuma terbang lewat di atasnya juga ogah ah”, katanya.

Gara-garanya pengalaman pahit The Beatles ketika harus hengkang secara tidak menyenangkan dari Manila tahun 1966. Bagaimana kisahnya hingga Imelda yang tadinya kesengsem pada The Beatles, tiba-tiba jadi sangat murka pada anak-anak band itu?

Sebelum menengok insiden Imelda dengan The Beatles, sejenak kita tengok dulu situasi di tanah air tahun 1960-an. Anda tahu kan, bagaimana Sukarno memberantas musik ngak ngik ngok, termasuk musik Beatles dan Beatlemania di Indonesia.

Bukan cuma musiknya, tapi gaya rambutnya pun dilarang. Tukang cukur dilarang melayani pelanggan yang ingin memotong rambut ala The Beatles.





Razia rambut gondrong dilakukan di mana-mana. Bung Karno menyinggung dalam pidatonya tahun 1964, dia memerintahkan polisi untuk membawa anak-anak muda berambut model Beatles ke tukang cukur. Itu pidato resmi. Tapi di luar pidato, Bung Karno dengan tegas memerintahkan agar yang berambut gondrong dibikin plontos.

Kenyataannya, polisi memang tidak perlu membawa ”pasukan gondrong” ke tukang cukur. Karena polisinya sendirilah yang jadi tukang cukurnya. Inilah mungkin razia paling konyol dalam sejarah Indonesia. Karena orang yang kena razia, terpaksa manut saja model kepalanya dibikin kayak kelapa....langsung di tengah jalan! Jadi tontonan orang-orang.

Lha, polisi kok disuruh jadi hair-stylist dadakan. Hasilnya, tentu saja kepala anak-anak muda itu jadi pitak tidak karuan. Dan orang yang  menonton tertawa-tawa. Apes anak-anak muda itu. Kètèrlaluan bah! Musiknya tak boleh, rambutnya haram......dan itu pun masih belum cukup!

Ternyata razia musik, razia rambut masih pula diikuti razia lain. Yaitu razia celana jengki, celana bray-cut, celana ketat ala The Beatles. Dilarang pakai celana ketat! Untuk menentukan seberapa ketatnya celana, polisi tidak perlu pusing-pusing. Cukup pakai botol bir. Jika di ujung celana di pergelangan kaki itu botol bir tidak bisa lagi dimasukkan, ini artinya celana itu terlalu ketat. Sebagai hukuman, celana itu harus digunting sampai paha. Gampang kan?

Senjata polisi cukup botol bir dan gunting. Jadi si korban razia tadi, sudah kepala pitak, celananya  dibikin model kolor pula! Walaaah.....mau ikut mode, malah jadi salah model. Tidak heran penonton di jalanan jadi terpingkal-pingkal bersorak-sorai melihat dagelan gratisan  itu.

Sebetulnya yang jadi soal bukan ngak ngik ngok-nya. Bukan soal gondrong dan celana jengki.
Bukan soal “Amerika kita setrika, Inggris kita linggis” (jargon Bung Karno). Juga bukan soal dikipasi kelompok kiri. Sukarno bukan type plintat-plintut yang mudah dikipasi.

Masalahnya budaya  ngak ngik ngok dan gaya anak-anak band itu, di mata Bung Karno, disuntikkan oleh imperialisme kapitalis. Buat Bung Karno,  para imperialis itu hanya ingin merangsek Indonesia dengan segala cara. Termasuk melalui budaya. Itu yang jadi kutil dan bikin alergi Sukarno. Kebetulan saja yang terdengar dilarang adalah Beatles. Karena waktu itu band ini sedang digandrungi. Tapi sebetulnya yang juga ikut dilarang adalah musik barat produk kapitalisme lainnya, plus dansa-dansinya, termasuk musik Elvis Presley. Untung saja model jambul Elvis tidak ikut-ikutan dilarang.




Larangan musik tadi ikut bikin putra Bung Karno, Guntur Sukarnoputra yang waktu itu masih remaja jadi mangkel juga. Padahal Guntur itu hobby-nya musik. Sejak kelas 5 SD sudah main gitar dan punya kelompok band. Ketika SMP Guntur membentuk band Ria Remaja. Sebagai anak muda Guntur juga ingin mencoba memainkan musik yang sedang trend. Termasuk musik The Beatles yang dikatakan bapaknya ngak ngik ngok.

Guntur bercerita dalam wawancaranya, “Kalau ketahuan oleh Bung Karno saya ikut main musik, ya dipelototin atau ditegur. Hey, kamu main ngak ngik ngok, ya? Awas, jangan main lagi!”. Lalu dilanjutkannya, “Tapi kalau nggak ketahuan ya saya main lagi....ha...ha...ha...”

Di luar larangan musik barat, Bung Karno kadang “kena sentil” juga oleh joke orang-orang terdekatnya. “Kalau cewek western pasti Bung ndak bisa nolak kan?”. Menolak Marylin Monroe? Mana tahan. Rasanya tak akan ada yang percaya Bung Karno bisa bilang “NO” buat cewek, tidak perduli dia dari barat, utara maupun selatan. Memang susah cari presiden tanpa cela. Seperti kata Sukarno, “manusia mana yang tidak punya kekurangan?”.





Itu tadi kejadian anti The Beatles di Indonesia. Nah sekarang bagaimana ceritanya sampai Imelda Marcos jadi benci setengah mati  pada The Beatles? (Tentang Imelda, baca tulisan saya berjudul “Diva Poltik Paling Rakus Sedunia?”)

Bung Karno sejak semula menolak The Beatles karena alasan ideologi. Lain dengan Imelda. Tadinya ibu negara ini memang sengaja mengundang The Beatles ke istana Malacanang karena memang demen  plus demam The Beatles. Maklum, The Beatles lagi jaya-jayanya. Jadi idola di seantero dunia.

Ketika itu The Beatles diundang oleh penyelenggara showbiz untuk konser di Manila. Lalu berangkatlah mereka ke Manila. Saat mereka sedang beristirahat di hotel, tiba-tiba ada permintaan  mendadak dari ibu negara, agar mereka segera datang ke istana. Rupanya Imelda ingin pertunjukan khusus untuknya di istana. Undangan Imelda ini tak terduga, dan  itu di luar jadwal show. Karena itu dengan enteng The Beatles menolak undangan itu.

Akibat penolakan tadi, Imelda Marcos sang ibu negara menjadi  menjadi sangat murka!
Ini penghinaan terhadap ibu negara! Pasangan suami istri Marcos yang bertangan besi itu ditakuti di seluruh Filipina. Lha anak-anak gondrong slebor dari Inggris itu kok berani-beraninya bilang “NO” pada istri diktator. Kira-kira yang ada di pikiran Imelda, “buseeet....belum kenal siapa saya!!!”.






Tapi sebetulnya penolakan The Beatles itu juga karena sejak pertama kali tiba di bandara, perasaan mereka sudah tidak nyaman. Ringo Starr bilang, di setiap sudut terlihat orang-orang bawa senjata. Selain itu, menurut George begitu tiba mereka tidak menerima respek yang pantas. Petugas membentak-bentak memberi instruksi. Padahal mereka sudah keliling dunia, dan di mana-mana mereka selalu dihormati. Jadi memang sejak awal kesan tentang Filipina sudah begitu menakutkan.

Kesan menakutkan itu semakin bertambah, ketika baru saja beristirahat di hotel. Sambil berbaring setelah perjalanan melelahkan, mereka sangat kaget ketika pintu kamar terdengar digedor keras sekali. Terdengar keributan di luar pintu. Begitu pintu dibuka, sejumlah petugas bersenjata membentak, “Cepat! Kalian harus segera ke istana sekarang juga! Kalian sudah ditunggu ibu negara!”. Padahal sebelumnya tidak ada perjanjian tentang itu. Permintaan mendadak yang memaksa-maksa dan dirasa tidak sopan itu, membuat mereka tak berpikir panjang, dan berkata “No, no, no!!!”.

Sesudah penolakan itu, The Beatles merasakan sangat jelas ada skenario yang diatur untuk mengintimidasi kehadiran mereka di Filipina.

Segalanya pun menjadi mimpi buruk. Setiap menit yang mereka lalui di Manila rasanya seperti seabad. Konser mereka dihadiri penonton yang jumlahnya seperti jumlah penonton festival nyanyi tingkat kecamatan. Padahal rencananya itu adalah pertunjukan akbar dengan massa bejibun.

                        
Reklame show The Beatles di Manila, 4 Juli 1966


Pelayanan di hotel tiba-tba menjadi sangat tidak ramah. Makanan dari hotel kelihatan sangat buruk sehingga mereka jadi tak berselera  menyantapnya.

Perlakuan lebih buruk lagi mereka terima ketika tiba saatnya meninggalkan Filipina. Untuk mencapai bandara, terpaksa mereka harus menumpang motor orang yang kebetulan lewat. Soalnya tidak seorang pun mau memberi mereka tumpangan mobil. Belum lagi caci maki yang mereka terima di sepanjang jalan. Orang-orang tak segan-segan meludah kasar di depan mereka. Bahkan mereka harus membawa segala peralatan sendirian karena tak seorang pun kuli pengangkut yang bersedia membantu.

Eskalator di bandara tiba-tiba berhenti pas ketika mereka hendak menapak kaki ke tangga berjalan itu. Padahal mereka membawa kopor dan peralatan berat. Terpaksa dengan ngos-ngosan mereka harus melalui tangga biasa. Beberapa orang kelihatan seperti ingin memukul dan menyerang mereka sambil memaki kasar, “Keparat! Kalian minggat sana sekarang juga!!!”.

Paul Mac Cartney bilang, di ruang tunggu bandara mereka memilih duduk di belakang serombongan biarawati yang kebetulan ada di sana. Perhitungannya, orang-orang di negara Katolik tidak akan berani menyerang orang yang berada di dekat biarawati. Paul menggambarkan, mungkin itu jadi pemandangan unik jika ada yang memotret adegan tadi. Maksudnya kombinasi kontras antara “the bad boys” dan biarawati yang alim santun.

Setelah bersusah payah, akhirnya mereka berhasil tiba di pesawat. Kontan mereka mencium kursi pesawat, karena kelegaan yang luar biasa. Rasanya seperti baru lolos dari maut.




Paul menuduh Marcos dan Imelda telah dengan sengaja menggunakan kediktatorannya mengatur orang-orangnya untuk  meneror mereka selama di Manila. Saking geramnya, Paul berkata, “Seandainya saya punya bom, saya sudah menjatuhkan bom di sana!”. Sejak itu mereka bersumpah tidak akan pernah mau lagi menginjakkan kaki di Filipina.

Belakangan, Imelda Marcos memberi komentar dalam wawancaranya ketika ditanya apa pendapatnya tentang musik The Beatles. “The Beatles? Saya tidak pernah suka musik mereka. Musik mereka mengerikan!”, kata Imelda.

Siapa sangka seorang ibu negara terhormat,  anggun dan cantik jelita bisa mengeluarkan pernyataan konyol semacam itu, hanya karena ngambek gara-gara maunya ditolak?





Ukuran suka atau tidak sukanya Imelda memang “suka-suka”. Sentral Imelda adalah “AKU”.
Begitu “AKU”-nya tidak dituruti, maka Beatles yang tadinya dinantinya di istana dengan suka cita, kini dibencinya dengan suka-suka. Kalau maunya dituruti bilang “nice”, kalau tidak dituruti bilang “ horrible”. Wah, rupanya orang terhormat bisa juga bereaksi kekanak-kanakan kalau maunya ditolak.

Dan bagaimana ukuran suka atau tidak suka dari Bung Karno? Buat Bung Karno, urusan suka atau tidak suka itu urusan nomor dua. Ini bukan soal “AKU”. Nomor satu itu ideologi. Yang penting jangan coba ganggu gugat ideologi anti imperialisme. Sentral Bung Karno adalah “ISME”. Begitu isme-nya dan isme Beatles tidak se-harmoni, maka gunting dan botol bir yang bicara. Jangan membandingkan Bung Karno dan Imelda dong! Jauh amat! Begitu kata anda.

Membandingkan Imelda Marcos dan Bung Karno? Yang satu penghamba imperialisme kapitalis kalau perlu mengorbankan karakter bangsa. Dan yang satu arsitek karakter bangsa, karena itu menolak  menghamba pada imperialisme kapitalis. Jelas beda jauh kan?


Walentina Waluyanti
Nederland, 27 Februari 2010

Senin, Maret 15, 2010

Daerah Istimewa Surakarta

Handoko Widagdo - Solo

Setelah jenuh dengan berita-berita Century, masyarakat Surakarta saat ini sedang bergairah membahas kembalinya Daerah Istimewa Surakarta sebagai sebuah provinsi. Hal ini dipicu oleh wacana dari DPRD Jawa Tengah yang ingin memindahkan Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah ke Solo. Ini bukan wacana main-main, sebab konon katanya sudah dimasukkan dalam rancangan tata ruang wilayah provinsi (RTRWP). Selain ramai dibicarakan di kalangan masyarakat, gagasan pemindahan ibu kota Provinsi Jawa Tengah juga ditanggapi secara serius oleh para pejabat Solo dan kabupaten-kabupaten eks Karesidenan Surakarta. Bahkan menjadi Tajuk Rencana SOLOPOS, korannya Wong Solo.
 
Semua pejabat dan intelektual menyatakan bahwa Solo memang siap menjadi ibu kota provinsi. Konon katanya, pemindahan ibu kota provinsi tersebut adalah upaya untuk membendung pembentukan Provinsi Daerah Istimewa Surakarta. 
 
Daerah Istimewa Surakarta? Apa tidak salah tulis? Yang ada kan Daerah Istimewa Yogyakarta atau DIY? Kok bisa DIS? Mungkin para pembaca akan bertanya-tanya demikian, ketika pertama mendengar tentang Daerah Istimewa Surakarta. Padahal Daerah Istimewa Surakarta memang benar-benar ada, atau setidaknya pernah ada. 
 
Baiklah saya ringkaskan sejarah keberadaan DIS dari salah satu tulisan tentang DIS di SOLOPOS Hari Selasa tanggal 9 Maret 2010, sebagai berikut: Pada saat Indonesia merdeka, tahun 1945, tepatnya tanggal 19 Agustus 1945, atau dua hari setelah proklamasi kemerdekaan, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) melakukan rapat untuk menentukan Provinsi-Provinsi di Indonesia yang baru berumur 2 hari. PPKI memutuskan bahwa Indonesia terdiri dari 8 Provinsi plus dua daerah istimewa. Kedelapan Provinsi tersebut adalah Provinsi Sumatra, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan, Sulawesi dan Sunda Kecil. Sementara dua daerah istimewa adalah Daerah Istimewa Djogjakarta dan Daerah Istimewa Surakarta. Pada tanggal yang sama, Presiden Sukarno membuat piagam pengakuan untuk kedua daerah istimewa tersebut. Seperti halnya DIY, kepala DIS juga ditetapkan langsung oleh presiden. Untuk DIY, Sultan Hamengku Buwana dan Paku Alam ditunjuk sebagai Kepala dan Wakil, sedangkan untuk DIS ditetapkan Paku Buwana dan Mangku Negara sebagai Kepala dan Wakil. Demikianlah penjelasan Kusno S Utomo, staf peneliti Badan Persiapan Pengembalian Status Daerah Istimewa Surakarta dalam artikel tersebut.  
 
Selanjutnya Kusno menyatakan bahwa karena sengketa politik pada tahun 1946, akhirnya status istimewa tersebut untuk sementara dikembalikan kepada negara. Sebagai respons atas kesepakatan itu, pemerintah pusat menerbitkan Peraturan Pemerintah No 16 SD/1946 tanggal 15 Juli 1946 tentang Pemerintahan di Daerah Istimewa Surakarta dan Djogjakarta. Dimana salah satu diktum didalamnya menyebutkan bahwa DIS akan dikembalikan ketika situasinya telah normal kembali. 
 
Sebenarnya gagasan pembentukan Provinsi Surakarta sudah cukup lama. Setidaknya pernah muncul menghangat setelah era reformasi. Pada tahun 1998, pernah ada joke di Harian SOLOPOS tentang Republik Surakarta. Karena sifatnya joke, maka wacana tersebut segera saja menghilang. Namun demikian, gagasan untuk membentuk provinsi bukanlah sekedar joke. Sebab beberapa seminar pernah digelar di Solo. Bahkan konon katanya, beberapa kabupaten seperti Ponorogo, Pacitan, Magetan dan Ngawi berminat untuk bergabung jika Surakarta menjadi provinsi. Memang jarak kabupaten-kabupaten tersebut lebih dekat ke Solo daripada ke Surabaya. Gagasan yang sempat diseminarkan tersebut kemudian meredup lagi karena menurut kajian, wilayah calon provinsi tersebut tidak akan mampu menghasilkan Pendapatan Asli Daerah yang memadai untuk menghidupi provinsi baru. 
 
Perkembangan Kota Solo dan kabupaten-kabupaten se-eks Karesidenan Surakarta yang pesat saat ini menyebabkan gagasan pemisahan Surakarta dari Jawa Tengah kembali menghangat. Kerjasama Ekonomi Solo Raya telah dibentuk dan dijalankan. Ini bisa menjadi cikal bakal pembentukan provinsi. Itulah sebabnya DPRD Jawa Tengah melontarkan gagasan pemindahan ibu kota provinsi. Wacana pemindahan provinsi tersebut membangkitkan kembali semangat untuk mengembalikan Daerah Istimewa Surakarta.  
 
Sebagai Wong Sala saya gembira kota saya diwacanakan menjadi Ibukota Provinsi Jawa Tengah atau bahkan menjadi provinsi baru. Tapi, apakah benar Surakarta atau Solo Raya sudah siap mengemban kembali keestimewaannya, jika Keraton Kasunanan saja sekarang punya Raja kembar?
 
 
 

Bibit Unggul?

Juwita Setiono – Australia



Zev, Cy dan rekan KoKiers,
Pagi ini saya membaca berita yang cukup menarik berjudul: “Baby Sex Selection”, tentang usulan undang-undang yang mengijinkan pasangan untuk memilih jenis kelamin bayi.

Saya sempat termenung. Apakah perlu seorang calon ibu repot-repot memilih jenis kelamin ‘calon’ bayinya? Bagaimana jika si bapak ingin anak laki-laki dan si ibu ingin anak perempuan? Bagaimana kalau nanti sudah diputuskan memilih anak laki-laki dan ternyata anak tersebut besar menjadi anak yang bandel nggak ketulungan, apa tidak membuat orangtuanya menyesal dan berkata: “Harusnya dulu kita memilih memiliki anak perempuan!” Dan apa yang memastikan kalau pilihannya tepat dan menghasilkan “bibit unggul”?

Profesor Gab Kovacs adalah salah seorang perintis Program Bayi Tabung (IVF). Beliau adalah Direktur Medik klinik bayi tabung “Monash IVF”. 
Klinik bayi tabung ini ada di beberapa lokasi di Australia, antara lain di: Melbourne, Brisbane, Rockhampton, Townsville, Geelong dan Auschenflower. Klinik Monash IVF ini juga berafiliasi dengan organisasi internasional. Semuanya dipimpin oleh team dokter profesional.

Dokter ahli kandungan Patrick  Steptoe dan Roberts Edwards adalah pelopor program IVF ini. Pada tahun 1978, pasangan Lesley dan John Brown berhasil mendapatkan anak lewat program bayi tabung. Bayi tersebut diberi nama Louise Brown. Dia lah bayi tabung pertama.

  


Australia berhasil dengan program bayi tabung pertama pada tahun 1980. Candice Reed sekarang berusia 30 tahun. Baginya program bayi tabung adalah bagian dari hidupnya, karena tanpa program ini dia tidak akan pernah dilahirkan di dunia ini.

Keberhasilan program bayi tabung ini mengundang perdebatan sengit. Program ini pada mulanya dituduh sebagai program ‘produksi bayi’ yang melawan kodrat.

Selang tiga puluh tahun kemudian, kontroversi kembali mencuat. Team dokter ahli di Australia yang dipimpin oleh Profesor Gab Kovacs sedang gencar mengusulkan agar diberlakukan undang-undang yang memperbolehkan pasangan untuk memilih jenis kelamin bayi.

Berikut ini beberapa alasan yang diajukan:
  • Biayanya tidak sedikit, berkisar antara $10,000 - $15,000. Jadi hanya pasangan yang benar2 sudah bertekad bulat yang akan meneruskan prosedurnya.
  • Biaya ditanggung “pasien”, jadi tidak membebani Departemen Kesehatan/Pemerintah.
  • Kemungkinan besar bayi yang dilahirkan memang ingin dilahirkan sebagai anak laki2/perempuan.
  • Kalau ada pasangan yang bersedia membayar mahal untuk proses bayi tabung dan pemilihan jenis kelamin bayi dan tidak diijinkan, lalu mereka mendapatkan anak secara natural tetapi jenis kelamin “yang salah”, ada kemungkinan anak ini ditelantarkan.
Saat ini pemilihan jenis kelamin bayi diijinkan di Australia hanya dalam kasus-kasus tertentu, misalnya jika ada penyakit keturunan yang hanya bisa diturunkan ke bayi laki-laki atau perempuan saja. Tetapi undang-undang yang mengatur hal ini akan segera berakhir dan peraturan baru bisa diberlakukan.

National Health and Medical Research Council (NHMRC) sedang mempertimbangkan peraturan baru yang mengijinkan pasangan untuk memilih jenis kelamin bayi, apakah untuk alasan kultur atau untuk menyeimbangkan jumlah anak laki-laki dan perempuan dalam satu keluarga.

Selesai membaca berita saya termenung lagi. Apakah perlu memilih jenis kelamin ‘calon’ bayi kalau bukan karena alasan medik? Apakah kasih sayang orangtua akan berkurang kalau anak yang dilahirkan ‘perempuan lagi’ atau ‘laki-laki lagi’?

Saya sendiri kakak beradik empat perempuan semua, kami rukun-rukun saja. Tetapi memang saya tidak pernah bertanya kepada Ibu saya apakah pernah punya keinginan punya anak satu lagi, siapa tau... laki-laki.

 


Apa pendapat rekan KoKiers mengenai hal ini?

Salam,  Juwita.

Huang

David Wirawan (Vids) - Singapore

‘Huang’ kata yang dia sebutkan, dan aku membalasnya dengan ‘David’ panggil aku ‘Vids’ aja lanjutku. Itu pertemuanku dengan seorang pemuda seumuranku saat perjalananku baru-baru ini ke Malaka. Ini perjalanan ke 3 kali aku ke Malaka, kali ini aku melihat banyaknya pembangunan disana sini terutama hotel besar dan mall-mall, tapi bagusnya pusat kota tuanya tidak berubah, semoga tetap dipertahankan.

Perjumpaanku dengan Huang memang suatu kebetulan belaka, saat menyisir pagi hari melihat jejak-jejak yang dulu pernah aku tinggalkan di Malaka, aku bertemu dengannya saat mengabadikan suatu ornament kecil di suatu rumah tua, dia juga melakukan hal yang sama, akhinrya kita saling berkenalan, ‘Hi I’m David’, kemudian dia balas ‘Huang’ , nice to meet you David."
Lalu dia melanjutkan menanyakan dari mana aku dan pas aku bilang Indonesia, dia langsung tertawa dan berkata ‘Wah sama, aku juga dari Jakarta’ . Akhirnya aku dapat teman hunting dalam perjalanan ini. Huang sangat senang dengan Malaka, dia seakan berkata setiap kali kesini aku seperti ke kampung halamanku, dan itu pun persis seperti kata-kata dahulu yang selalu aku ucapkan, seakan Malaka begitu menyatu denganku, sudut-sudut kotanya, aku sudah begitu hafal dengan kota ini.




Huang pun melanjutkan sebenarnya kita punya yang sama seperti ini di Jakarta, dan dia bercerita tentang bangunan-bangunan tua di sekitar pusat kota di kawasan Glodok yang mana masih menyimpan beberapa ornament Chinese peranakan, tapi…. Huang berhenti sebentar lalu melanjutkannya, seakan dia teringat sesuatu yang sangat dalam sewaktu bercerita itu, dan aku langsung mencoba menebak dalam hati, apakah ini peristiwa Mei 1998 lalu?
Ternyata dugaanku benar, Huang melanjutkan ceritanya, beberapa bangunan telah rusak, nilai sejarah telah hilang, menjadi abu, menjadi luka yang susah dihilangkan, komunitas Chinese peranakan yang seingatnya saat itu sedang berusaha membaur dengan penduduk lokal akhirnya banyak yang menjadi korban, mereka bukan orang kaya raya, mereka berdagang berjualan dari pagi sampai malam.
Pikiranku terbayang lagi sewaktu aku kecil dibawa mamaku kesana, yah mereka berjualan sayur, buah, obat-obatan di pinggiran jalan yang dikenal dengan Petak Sembilan, para penjual yang rata-rata etnis Tionghoa itu tiap hari menjajakan buah-buah itu didepan bangunan Glodok Plaza, mereka bukan orang yang berkecukupan, tapi mereka juga berdagang untuk hidup mereka, tapi mereka banyak yang menjadi korban, setelah kerusuhan Mei itu, mereka menjadi takut, merasa sebagai warga Negara Indonesia tapi masih dianggap seperti bukan WNI, dan mereka menjadi suara-suara yang diam karena lebih baik mereka diam agar tetap bisa melanjutkan hidupnya di Indonesia, karena memang mereka cinta Indonesia.

Huang berhenti sebentar dan menatapku, seakan ia ingin melihat ketulusan hatiku atau ingin menilai apakah aku bisa dia lanjutkan bercerita, aku pun memasukan sebutir rice ball ke mulutku, dan dia mulai lagi bercerita, Huang melihat rumah makan tua ini dan berkata, di rumahku juga seperti ini, lihat itu meja yang terbuat dari marmer, itu sudah ratusan tahun, begitu pula dengan pot-pot bunga cantik yang berlukiskan burung-burung dan pohon, berwarna putih dengan oretan berwarna biru, itu juga ada di rumah-ku dulu, dan lihat itu burung wallet yang berdiam di pojokan, dahulu juga banyak seperti itu di rumah-ku.
Tapi semua itu telah hilang, diambil, dibakar dan semua kenangan akan masa kecilku tidak ada lagi, photo-photo kecilku saat dari bayi sampai aku dewasa telah menjadi abu, rumah itu dibakar saat tengah malam saat kerusuhan, saat serangan pertama, barang-barang itu diambil dari rumahku, saat itu aku berada di depan rumah, aku menyaksikan sendiri bagaimana barang-barang orangtua-ku dijarah, dan aku menyaksikan tanpa bisa berkata apa apa, aku hanya memahami saat itu memang banyak rakyat miskin tapi mereka tidak begitu lapar untuk melakukan hal ini, beberapa orang disampingku melihat aku, kulitku memang agak hitam saat itu karena aku selalu berjemur, saat itu memang genting sekali bagi etnis Chinese karena mereka menjadi korban.
Huang berhenti sebentar mengambil es teh lalu melanjutkan lagi, saat itu ada beberapa orang yang berkata itu bukan barangku dan haram merebut barang orang lain, ada beberapa orang yang tidak peduli lagi merampas dan mengambilnya. Aku yang berdiri saat itu pun berkata, siapakah mereka ini yang begitu beringas, tapi dalam hati pun aku berkata puji Tuhan banyak yang moralnya baik. Dan aku pun selalu berdoa, dan aku menghubungi orangtua-ku yang berada di dalam rumah, sedangkan aku berada di depan menyaksikan semua ini. Dengan handphone Nokia Banana, aku menghubungi orangtua ku dan suara mama begitu bercampur aduk antara senang mendengar suaraku dan perasaan takut, aku cuma berkata, tenang, Huang ada di depan rumah, papa mama di dalam tenang aja, Huang akan menjaga situasi, kita berdoa saja, Huang minta papa saat nanti kalau suasana genting sekali dan harus pergi dari rumah, papa pegang mama dan jangan urusin harta. Tapi ternyata itu membuat mama tambah kawatir karena takut kalau aku diserang mereka.











Huang lalu melanjutkan ceritanya, Ia kemudian pergi ke tempat adiknya, karena adiknya masih kecil dan berada di rumah lain, saat itu keadaan begitu genting, beberapa rumah di sebalah rumah ortuku sudah dibakar, dan aku saat itu melintasi harus merasakan panasnya api membara, dan akhirnya aku bertemu dengan sebuah ojek, aku menanyakan ojek itu mau tidak untuk pergi ke Kalideres. Tanpa pikir panjang si ojek mau saja, aku berikan uang 20 ribu saat itu.
Huang berkata kepadaku, kamu tahu itu Slipi Jaya Plaza? Itu saat aku lewati dengan motor sedang dibakar, aku menyaksikan semua itu, dan selama perjalanan dari jalan Daan Mogot itu setiap kendaraan yang lewat di check untuk melihat orang tersebut etnis Chinese atau bukan, saat itu aku hanya berdoa dan selama diberhentikan, aku selalu lewat dan akhirnya aku tiba di rumahku, dan aku berkata kepada adikku tenang saja, mama papa baik-baik saja.
Aku pun langsung membeli persediaan makanan, Indomie dan juga karena pergaulanku dengan para tukang ojek, mereka membantuku, mereka berkata kalau ada serangan disini, kamu lari ke tempatku, dan aku saat pergi ke warung depan untuk memesan nasi, aku berkata kepada ibu penjual, bu tolong aku yah, kalau nanti ada serangan aku titip adikku disini.
Kepada adikku aku berkata, kalau nanti ada serangan karena mereka masih kecil, kalian lari menyusuri padi dan berhenti di warung makanan, kalian tinggal disana sampai aku kesana lagi menjemput.

Aku sudah berhenti dari kelezatan chicken rice ball yang terkenal itu, karena cerita dari Huang membuatku ter-focus seakan aku berada dalam peristiwa itu, Huang masih ingat sekali detil detil kejadiannya.
Huang berkata lagi semalaman dia berusaha mengontak mama papanya, ternyata tidak bisa lagi, perasaan kawatir sudah bertubi-tubi dan saat itu kami hanya berdoa dan saling menguatkan antar teman-teman dan tetangga. Kira-kira jam 3 pagi, papa telepon dari Mesjid Istiqal mengatakan kalau rumah sudah dibakar dan papa lari kesana, aku langsung menanyakan dimana mama?
Papa mengatakan kalau ia terpisah dari mama, aku kesal dan marah karena sebelumnya sudah aku katakana yang terpenting nanti saat kabur yang dipegang adalah mama, papa berkata karena papa saat itu juga menjaga nenek, jadi saat dibakar, semua terpencar.

Aku melihat mimik Huang, saat itu butiran air mengalir dari matanya, aku seakan mau memberhentikan semua cerita ini, tapi Huang melanjutkan lagi, Papa ngak bisa telp lama-lama karena itu handphone orang lain, dan papa memang tidak ada handphone, lalu aku berdoa lagi semoga Tuhan melindungi mama, dan tidak sampai 30 menit mama telepon, kalau dia berada di rumah penduduk lokal, mereka menyelamatkan mama dan menyuruh mama tinggal disana.
Saat itu aku bercampur aduk perasaannya, antara takut senang kawatir sedih, dan juga harus menjaga keadaan di sekitar rumah, 3 hari tidak tidur dan menyaksikan berita-berita di TV yang menakutkan dan akhirnya di hari minggu itu, papa pulang ke rumah, mama pun pulang hampir dengan saat yang bersamaan, kami berpelukan, aku sempat marah dengan papa karena melepaskan mama, tapi aku pun mengerti dan bilang lain kali tolong jaga mama, itu satu-satunya saat aku marah kepada papa.
Aku melihat mama memegang hanya satu tas, baju mereka cuma satu melekat di badan selama 5 hari kerusuhan, Tas yang mama pertahankan hanya berisikan dokumen akta lahir dan Kartu Kewarganegaraan Indonesia, karena Huang sekeluarga dari papa mama semua lahir di Indonesia. Dari semua harta cuma itu yang mama pentingkan, karena begitu susahnya diakui sebagai WNI, hanya selembar kartu tanda kewarganegaraan yang bisa mendapat pengakuan bahwa kami juga warga Negara Indonesia, kami lahir di Indonesia dan kami pun berjuang bersama sama untuk Indonesia.
Bolehkah kami yang kaum minoritas ini juga bisa merasakan Kemerdekaan, karena kami pun warga negara Indonesia”









Aku terdiam bisu menatap Huang, lalu Huang pun berkata itu masa lalu, sampai sekarang pun aku masih cinta Indonesia dan rasa nasionalis-ku masih tinggi, lain kali kalau kita bertemu lagi aku akan ceritakan kisahku lagi.
Ah bangunan ini beserta isi-isinya  ternyata membangunkan kisah-kisah lamaku, tapi aku senang sekarang negaraku sudah lebih maju dan semoga tidak ada lagi kerusuhan seperti dulu.
Terima kasih sudah menjadi pendengar yang baik, dan aku susah untuk menceritakan hal ini kepada orang lain.

Aku pun berkata, bolehkah aku tuliskan pengalaman ini untuk blogku dan KoKi dan mengambil photomu?

Huang berkata kalau kamu mau menuliskan ini, tolong dikasih liat ke aku dulu sebelum di-publish. Huang bertanya juga apa itu KoKi, dan aku menjelaskan sekilas tentang KoKi, dan dia berjanji akan melihatnya nanti.

Huang, terima kasih atas kisahmu, semoga kau selalu membagikan kisahmu bagi kami penerus bangsa ini, dari perjalanan malaka ini aku mendapatkan suatu pelajaran hidup lagi….




Semoga arti kemerdekaan ini bisa lebih berarti, bisa lebih dipahami, karena bagi para kaum minoritas, mereka pun juga berjuang demi bangsa dan mereka pun bagian dari bangsa ini.