Kamis, Maret 11, 2010

Diskriminasi, Imigran dan Kebinekaan di Amerika

Sri Rum - Amerika
 Dear Zeverina: 
Meskipun terlambat saya mengucapkan “Selamat dan terimakasih” untuk KoKi yang baru yang lebih yahud. Semoga sukses dan menjadi rumah yang kokoh yang tidak seorangpun bisa mengutiknya. 
Rupanya saya banyak ketinggalan jaman. Saya sungguh kagum atas keteguhan jeng Zev mempertahankan prinsip dan ideologinya, yang tidak hanya untuk ukuran jurnalis di Indonesia tapi juga di Amerika.  Saya yakin jeng Zev tidak akan menyerah dan segera bangkit kembali yang ternyata jauh lebih cepat dari perkiraan saya.  Entah bagaimana pelaksanaannya, tapi yang terpikir waktu itu adalah kami- kami bisa subscribe, yang kiranya sangat wajar, mengingat KoKi selama ini telah membawa kebahagiaan bagi banyak orang yang tersebar di sekian ratus negara.  Atau kalau ada yang saya belum tahu, mohon dikabari. Dari tulisannya “Resign dan uhuhu, ..” --   http://www.koki-kolomkita.com/baca/artikel/17/82/resign_dan_huhuhu_....  ---  yang membuat saya sangat terharu, kelihatannya masalah financial ini sudah ada titik terang, semoga. Juga terimakasih kepada KoKiers- AsMods yang telah ikut menyingsingkan lengan baju.  
Salam hangat, Sri Rum.  
Sekitar dua bulan lalu ada suara yang mendesak diadakannya reformasi imigrasi yang datang dari etnik Hispanic yang merupakan kelompok yang paling cepat pertumbuhannya di Amerika.  Mereka menagih janji presiden Obama untuk melakukan ‘comprehensive immigration reform’, yang bagi mereka intinya tidak lain adalah pemberian amnesty bagi saudara mereka serumpun yang masuk Amerika tanpa dokumen resmi alias illegal agar menjadi legal.
Imigran yang berasal dari berbagai suku bangsa yang merajut Amerika terbukti telah memberikan andil bagi kemajuan negeri ini.  Tapi di lain pihak, kebinekaan ini juga bisa menjadi situasi yang thorny alias berduri.  Tulisan ini merupakan sorotan seputar hal- hal yang berpangkal dari kebinekaan ini, dari sisi yang barangkali orang enggan membicarakan namun merupakan fakta yang mewarnai keseharian.  Kalau salah satu etnik paling banyak disebut- sebut samasekali tidak ada maksud- maksud tertentu selain untuk memberikan gambaran situasi seakurat mungkin. 

Awal tahun lalu salah satu Koran terbitan Indonesia memuat berita tentang rencana pemerintah Amerika untuk mendeportasi imigran gelap asal Indonesia dan beberapa negara tetangga kita di antaranya Vietnam dan Philippines.  Juga disebutkan bahwa deportasi gelombang kedua akan menyusul beberapa bulan kemudian.  Tahun ini, kira- kira pada bulan yang sama, terbetik lagi berita serupa dimana untuk keperluan itu pihak imigrasi Amerika katanya sampai men-charter pesawat.



Sekilas, berita di atas mengesankan ketatnya penegakan hukum yang menyangkut imigrasi di Amerika.  Namun benarkah memang demikian? 
Ada hal yang dalam pengamatan saya mencolok yaitu sikap kurang konsisten yang membuahkan kesan adanya perbedaan perlakuan alias diskriminasi yang menguntungkan kelompok imigran tertentu.  Di Amerika diskriminasi merupakan hal yang sangat sensitive dan tabu besar, jadi tidak etis mencurigai paman Sam tanpa bukti- bukti.  Namun kiranya fair game kalau sekedar mengangkat hal- hal yang bisa kita lihat sehari- hari disertai opini di sana- sini.
Menurut berbagai sumber, jumlah imigran gelap (IG) di Amerika saat ini diperkirakan lebih dari duabelas juta, jumlah yang lebih dari cukup untuk mendirikan suatu negara.  Tidak disebutkan apakah jumlah tersebut termasuk anak- anak mereka yang lahir di Amerika yang secara hukum (mestinya?) adalah WN Amerika yang selama ini entah bagaimana mekanismenya telah menyerap dana yang tidak sedikit untuk biaya pendidikan dan kesehatannya.  Dalam situasi ekonomi yang sulit seperti sekarang, dana tersebut merupakan beban yang tidak ringan terutama bagi negara bagian (state) yang mengalami deficit anggaran yang parah seperti California yang telah membuat governor- nya, actor Arnold ‘Terminator’ Schwarzenegger kalang kabut.
Dari jumlah tersebut mayoritas adalah pendatang dari selatan yaitu etnik Hispanic terutama berasal dari Mexico disusul beberapa negara Amerika Latin lainnya.  Imigran Hispanic juga merupakan kelompok yang paling banyak memperoleh citizenship melalui proses naturalisasi, yang menurut data resmi dari INS (Immigration and Naturalization Services) mencapai di atas 40% dan selebihnya berturut- turut adalah Asian, Caucasian (kulit putih) dan African.
Berdasarkan kedekatannya secara geografi ditambah dengan ketimpangan ekonomi di negara asal, tingginya jumlah imigran Hispanic tidak mengherankan dimana untuk masuk Amerika, mereka cukup menyeberangi Rio Grande atau memanjat dan membobol pagar perbatasan, atau melalui syndicate yang dengan sejumlah uang tertentu menyelundupkan dengan berbagai cara.  Selain itu juga melalui terowongan rahasia yang mereka buat yang sekaligus berfungsi untuk menyelundupkan drugs seperti yang beberapa kali ditemukan di Arizona termasuk yang terakhir awal bulan Juni tahun ini.
Membanjirnya IG dengan segala eksesnya ditambah makin derasnya lalu- lintas penyelundupan drugs/ drugs trafficking dari selatan ke Amerika telah menimbulkan masalah keamanan yang serius.  Perang antar drug cartels yang saling bersaing banyak memakan korban masyarakat yang tidak berdosa.  Meskipun tumpukan mayat tanpa kepala yang tidak jarang ditemukan di wilayah Mexico belum sampai terjadi di Amerika, namun penculikan, perkosaan, perampokan dan pembunuhan sudah lama tumpah ke kota- kota sepanjang perbatasan di wilayah Amerika.  Polisi patroli perbatasan Amerika juga banyak yang menjadi korban saat mempertaruhkan nyawa menghadapi mereka yang sadis dan tidak jarang memiliki persenjataan yang lengkap ini.  





Tahun lalu ada kabar suami salah seorang teman mau dipindahkan ke kota yang cukup besar di dekat perbatasan.  Tapi ternyata kemudian pindahnya ke sebuah kota kecil di lain state.  Rupanya suaminya berhasil nego dengan tempat kerjanya agar tidak dipindah ke kota yang tingkat kriminalitasnya tinggi ini.  Padahal kalau tidak ada alasan yang kuat umumnya orang enggan dipindah ke kota kecil yang mana untuk belanja di supermarket yang agak lumayan saja harus bermobil ke kota tetangga yang lebih besar yang jaraknya puluhan mil.
Namun anehnya heboh di perbatasan tersebut ternyata tidak mendapat perhatian memadai dari media terutama yang cenderung liberal.  Padahal kegigihan media Amerika dalam memburu dan menggali berita tidak disangsikan lagi, dimana tidak jarang skandal asmara tokoh yang sudah lama di alam baka- pun masih berusaha dihidupkan kembali. 
Sikap pemerintah baik di bawah presiden dari partai Demokrat maupun Republikan dalam masalah ini kesannya tidak terlalu berbeda.  Sebaliknya masyarakat terpolarisasi dimana mereka yang menganut faham kanan atau kita sebut saja konservatif yang merupakan voter Republikan umumnya menginginkan pengetatan pengamanan perbatasan serta penegakan aturan imigrasi.  Sedangkan yang berfaham kiri atau liberal yang pro partai Demokrat rata- rata lebih lunak.
Berikut ini dua di antara banyak peristiwa tragis yang berkaitan dengan ulah imigran gelap dari selatan.
Empati berlebihan kepada anak tetangga, saudara sendiri dibiarkan mati merana. Kalimat tersebut dengan tepat menggambarkan tragedy yang terjadi tahun lalu dimana seorang ayah bersama dua anak laki- lakinya yang berumur duapuluh dan enambelas tahun yang sedang bermobil di jalanan di San Francisco ditembak mati oleh seorang anggota geng yang statusnya imigran gelap dari El Salvador.
Yang sangat menyakitkan bagi keluarga korban terutama wanita yang dalam sekejap kehilangan dua anak dan suami tercinta secara senseless ini adalah kenyataan bahwa pemerintah setempat ternyata tahu dan sengaja melindungi keberadaan IG ini.  Tapi penderitaan wanita malang itu belum berhenti di situ, to add insult to injury, menambah sakit hati, seorang jaksa tega- teganya menyatakan alasan mengapa mereka melindungi IG yang kriminal ini.  Menurut ibu jaksa ini, kalau IG ini dideportasi, dikhawatirkan akan kembali ke habitat lamanya dan merekrut teman- temannya dan dengan keahlian yang lebih canggih masuk Amerika lagi.
Tragedy lain terjadi bulan Mei tahun ini yang menimpa seorang anak perempuan berusia empat tahun yang meninggal akibat mobil yang ditumpanginya ditabrak mobil lain yang tidak berhenti di lampu merah.  Pengemudinya ternyata adalah IG yang SIM, atau driving license- nya (DL) disuspensi karena yang bersangkutan sudah empat kali melakukan pelanggaran yaitu mabuk saat mengemudi.  Entah bagaimana seorang IG bisa mendapatkan DL, karena sebelum melakukan tes biasanya harus menunjukkan identitas berupa ‘social security’ yang mestinya tidak dimiliki IG.  Selain itu bagi yang tinggal di Amerika secara legal pun, kalau sampai melakukan pelanggaran, menurut hukum bisa dideportasi.  Jadi tidak menunggu sampai berkali- kali sebelum akhirnya membunuh gadis cilik WN Amerika yang tidak berdosa.
Kedua kejadian tragis di atas hanya merupakan titik- titik di puncak gunung es yang sebetulnya berpotensi menjadi issue yang panas namun sebagaimana biasanya, yang memberitakan secara vocal hanya media yang cenderung konservatif.  Sedangkan media yang lain tampak enggan menyentuh masalah ini, apalagi peristiwa yang di San Francisco waktunya bertepatan dengan semakin ramainya masa kampanye pemilu. 
San Francisco memang merupakan salah satu di antara ‘sanctuary cities’ di Amerika yaitu kota yang memberi perlindungan kepada IG.  Di kota- kota tersebut para petugas disarankan untuk memalingkan muka saja saat menemukan indikasi adanya IG.  Kota yang cantik dekat teluk San Francisco ini memang memiliki tradisi panjang dengan ideology liberal.
Bagi KoKiers yang suka menggali lagu- lagu lama mungkin ingat lagu “San Francisco”- nya Scott McKenzie yang dirilis di tahun 60- an saat hippies menjadi fenomena di kota yang merupakan sorga bagi kelompok yang mengumandangkan peace sekaligus royal dengan free love, free sex dan drugs ini.  Sementara gay dan lesbian juga sudah lama menjadikannya sebagai tempat tinggal yang ideal bagi life style mereka.  Sehingga argument ibu jaksa yang untuk sebagian orang mungkin membuat perut mulas, kelihatannya hal normal di sana.
Di Amerika, jumlah Hispanic sudah cukup untuk bisa mempengaruhi peta politik, sehingga para politisi berhati- hati kalau menyakut kepentingan kelompok ini.   Sebagaimana disebutkan di awal tulisan, mereka tidak sabar untuk menagih janji presiden Obama.  Bahkan pencalonan jaksa Sonia Sotomayor oleh Obama untuk supreme court tidak meredam tuntutan mereka meskipun mereka antusias menyambut pencalonan jaksa pertama dari kelompok Hispanic ini.
Para pemimpin komunitas Hispanic yang tergabung dalam beberapa organisasi dengan blak- blakan mengatakan, kalau Obama tidak menepati janji mereka tidak ragu pindah ke lain hati.  Maksudnya di pemilu mendatang akan berpaling ke partai oposisi yang bisa merupakan ancaman karena dalam pemilu yang lalu, vote kelompok Hispanic cukup berpengaruh pada kemenangan Obama, capres dari partai Demokrat.
Waktu kampanye di depan tokoh- tokoh Hispanic, Mr. Obama memang menjanjikan reformasi bahkan sampai mengutuk para petugas yang menggrebeg IG.  Ucapan Mr Obama tersebut disambut kecaman dari Lou Dobbs, seorang host acara di CNN yang menyatakan bahwa mengutuk abdi negara yang sedang melaksanakan tugasnya merupakan hal yang kurang pantas keluar dari seorang capres.
Dengan situasi ekonomi Amerika yang masih sulit saat ini dimana tingkat pengangguran mencapai 9.5% dan diperkirakan masih akan bertambah, pihak yang tidak setuju berargumen bahwa pemberian amnesty bagi IG akan sangat memberatkan.  Dan yang lebih penting, secara prinsip merupakan precedent buruk karena IG yang merupakan pelanggar hukum justru mendapat reward, hal yang bisa mengutik rasa keadilan terutama bagi mereka yang istilahnya berjuang sampai berdarah- darah untuk bisa masuk Amerika secara legal.
Sebetulnya amnesty untuk IG pernah diberikan kalau tidak salah saat pemerintahan presiden Reagan yang terbukti tidak menyelesaikan masalah.  Sebab kenyataannya setelah itu Amerika tetap dibanjiri IG karena gagalnya pengamanan perbatasan dan enforcement aturan imigrasi.



Solidaritas di antara sesama etnis merupakan hal yang instinctive, bisa terjadi pada etnis mana saja seperti India yang juga cepat pertumbuhannya. Tapi solidaritas di antara Hispanic dinilai berlebihan, seperti kalau sedang rally/ demo, tidak jarang mereka melambai- lambaikan bendera negara asalnya, yang memberi kesan sebagai bangsa yang bangga tapi kurang sekali pengetahuan civic- nya.   Kalau di Indonesia hal ini bisa- bisa dianggap sebagai tindakan subversif.  Sementara di Amerika tidak seorangpun berani menggugat, jadi siapa bilang Amerika senang mem- bully hayo, haha.  Biasanya kelompok konservatif yang bisik- bisik sinis, sedangkan liberal pura- pura tidak tahu.
Sikap sebagian orang kulit putih yang umumnya berpaham liberal yang entah didasari guilt (rasa bersalah) yang memberi empati berlebihan kepada kaum minoritas, tampaknya justru bisa memperumit situasi di masyarakat multi ras ini.  Seperti argument ibu jaksa dalam tragedy di San Francisco dimana demi empati kepada pihak yang dia anggap terpinggirkan atau victim (korban) berbuah petaka bagi warga yang tidak berdosa.
Namun sikap semacam ini kelihatannya makin menjadi hal yang dianggap benar secara politis (politically correct) meskipun ukuran yang didasarkan pada ideology politik bukan baku, tergantung dari siapa dan bagaimana memandangnya.  Padahal perlakuan yang berbeda, lepas dari apapun motifnya, bisa mengikis prinsip equality atau kesetaraan yang dijunjung tinggi di Amerika.
Contohnya kasus yang sedang hangat saat ini yang terjadi di fire department (dinas pemadam kebakaran) di suatu kota di Connecticut, negara bagian yang terletak di timur laut Amerika.  Dalam rangka promosi jabatan, dinas tersebut mengadakan ujian bagi para anggotanya (firefighters).  Hasilnya limabelas orang firefighters mendapatkan nilai tinggi untuk bisa dipromosikan.
Karena dari jumlah tersebut tidak ada satupun yang berkulit hitam, pemerintah kota memutuskan untuk membatalkan hasil ujian.  Alasannya kalau promosi hanya didasarkan pada nilai ujian, anggota kulit hitam tidak ada yang bisa dipromosikan sehingga distribusinya tidak merata.  Kelimabelas fire fighters yang terdiri dari empatbelas kulit putih dan seorang Hispanic yang merasa didiskriminasi tidak menerima keputuan tersebut dan membawanya ke pengadilan.  Pengadilan ternyata menolak untuk meninjau kasus ini namun mereka tidak menyerah dan membawanya ke pengadilan lebih tinggi yang sekarang prosesnya sedang berlangsung.
Padahal di Amerika, seperti pernah ditulis oleh KoKiers yang lain, untuk melamar pekerjaan pelamar tidak harus mencantumkan data- data tertentu yang bisa dijadikan senjata untuk mendiskriminasi, misalnya ras/ etnik, umur, foto dsb .  Diskriminasi yang menguntungkan anggota kulit hitam di atas secara tidak sengaja menghidupkan stigma lama yang menganggap African American (kulit hitam) kurang capable hingga perlu dikatrol, tindakan yang sebetulnya meremehkan.
Nuansa tersebut juga terasa saat kampanye pemilu tahun lalu.  Di bulan Oktober waktu kampanye sedang marak- maraknya, orang Amerika juga merayakan Halloween dimana seorang pemilik rumah di California memasang effigy yaitu boneka mirip sosok seseorang yang digantung di lehernya dan dipasang dekat chimney (cerobong asap).  Sosok tersebut adalah capres dan wakilnya dari partai Republikan yaitu John McCain dan Sarah Palin.  “Hahaha, cute, funny,” demikian reaksi sebagian orang yang melihatnya.  Tapi waktu ada orang lain yang memasang effigy Obama, “Whooo you can not do thaaat”, protes yang tidak hanya datang dari masyarakat, tapi polisipun sampai turun tangan menyuruh untuk menurunkan effigy tersebut karena menggantung Obama politically incorrect (secara politis tidak benar).
Agak ironis mengingat Mr. Obama sudah mendapat mandate begitu besar dengan pencalonannya untuk memimpin bangsa Amerika.  Dengan sikap tersebut seakan orang menganggap dia masih perlu nanny atau babysitter untuk melindunginya dari orang- orang yang ingin mencoelnya atau menghalau nyamuk- nyamuk yang akan menggigitnya.  
Racial profiling dan driving while blacks.  Di lain pihak merupakan fakta bahwa minoritas kulit hitam banyak menjadi target ‘racial profiling’ yaitu polisi mem- profile, mendasarkan kecurigaannya (pada berbagai kasus pelanggaran) semata karena ras- nya atau dengan kata lain stereotyping.  Waktu tulisan ini hampir selesai, kebetulan ada peristiwa yang berkaitan dengan hal tersebut yang menjadi berita nasional karena melibatkan seorang professor dari Harvard bernama Henry Louis Gates Jr dimana presiden sempat ikut komentar.
Kejadiannya berawal dari kesalah- pahaman dimana polisi datang ke rumah prof karena ada laporan rumah tersebut dicongkel orang.  Padahal sebenarnya pemiliknya sendiri pelakunya gara- gara waktu pulang dari bepergian dia mendapat kesulitan dengan kunci rumahnya.  Singkatnya terjadi konfrontasi yang mana menurut versi polisi sang prof bertindak disorderly yaitu melawan instruksi polisi serta mengeluarkan kata- kata yang tidak semestinya.  Di Amerika hal ini bisa mengakibatkan penangkapan dimana dia sempat diborgol tangannya yang kemudian dibebaskan dari segala tuduhan.  Sedangkan menurut prof dan orang- orang yang simpati kepadanya polisi melakukan racial profiling dan menuduh bahwa peristiwa tersebut tidak akan terjadi seandainya prof ini berkulit putih.
Ada sebagian orang kulit hitam kelihatannya tidak buru- buru menganggap kejadian ini dilandasi unsur rasial, suatu langkah maju?  Di antaranya Mr. Bill Cosby, actor kulit hitam yang di Indonesia akrab dikenal lewat serial “The Cosby Show” yang tidak setuju dengan komentar presiden Obama.  Presiden mengatakan si polisi yang berkulit putih ini bertindak bodoh (acted stupidly) yang terkesan memihak karena fakta- faktanya belum lengkap.  Besoknya presiden memberi komentar susulan yang pada dasarnya mengoreksi komentar sebelumnya.  
Waktu sedang berkendaraan, African American juga sering menjadi object  penyetopan oleh polisi atas kecurigaan membawa drugs, senjata maupun tindak criminal lainnya sehingga di Amerika ada kata- kata plesetan ‘driving while blacks’.  Banyak comedian yang mengangkat masalah ini sebagai materi guyonannya di antaranya seorang comedian kulit hitam bernama Chris Rock yang mengatakan bahwa kalau salah seorang bro (brother, panggilan sesama mereka) mau menumpang mobilnya, hal pertama yang dilakukannya adalah menggeledah untuk memastikan si bro tidak membawa senjata maupun drug.  Ucapan Chris Rock mengindikasikan bahwa pelanggaran semacam ini sering dilakukan kelompok ini.  Namun profiling yang serampangan telah sering mengakibatkan kesengsaraan bagi orang- orang kulit hitam yang tidak bersalah.
Tuduhan racist terutama bagi orang kulit putih juga merupakan hal yang sangat ditakuti di Amerika sehingga mereka kurang berani menyuarakan hal- hal yang mestinya perlu dikoreksi.  Salah satu contoh, di daerah kami, banyak iklan lowongan pekerjaan yang menyebutkan bahwa pelamar yang bilingual lebih disukai.  Maksudnya selain bahasa Inggris juga mampu berbahasa Spanyol.  Iklan yang diskriminatif dan berlawanan dengan prinsip equality ini secara diam- diam menyusup tanpa adanya perlawanan sebab yang diuntungkan adalah minoritas dalam hal ini Hispanic sehingga tidak seorangpun berani terang- terangan menyuarakan keberatan.





Di Indonesia, para bapak bangsa kita dulu jauh sebelum kemerdekaan di tangan sudah mengendus bahayanya perpecahan karena kebinekaan kita.  Sehingga beliau- beliau merumuskan konsep persatuan di antaranya satu bahasa.  Sementara di Amerika, pemerintah terkesan sangat ketakutan kalau minoritas sampai menjadi korban (victim) karena tertinggal gara- gara kendala bahasa sehingga berusaha mengakomodasi yang terkesan berlebihan.  Padahal pada prakteknya tidak mungkin untuk mengakomodasi setiap kelompok minoritas, akibatnya justru menimbulkan diskriminasi yang menguntungkan kelompok tertentu dalam hal ini Hispanic yang merupakan mayoritas di antara minoritas.
Banyak di antara mereka yang sudah puluhan tahun di Amerika namun kemampuan bahasa Inggrisnya sangat minim, tapi mereka survive karena kemanapun selalu terakomodasi seperti di RS, praktek dokter, kantor lawyer, toko dsb.  Itulah sebabnya banyak iklan yang mensyaratkan bilingual.  Saya ingat jaman dulu waktu mau tes tertulis untuk mendapatkan SIM juga ditanya bahasa apa yang langsung saya jawab Inggris.  Pertama karena saya berpikir itu yang benar, dan juga tidak mau bertele- tele, toh seperti dugaan saya mereka tidak punya yang bahasa Indonesia.
Di antara mereka yang merasa mendapatkan privilege karena menempatkan diri sebagai victim ini tidak jarang bersikap seperti di atas angin.
Seorang kenalan, wanita Jerman yang bersuamikan pria Amerika pernah jengkel karena beberapa orang Hispanic di kantornya mengecamnya karena dia tidak mau belajar bahasa Spanyol.  Untung wanita ini bisa memberi jawaban yang telak.  Hal ini juga sering diparodikan seperti dalam salah satu serial sitcom yang menggambarkan seorang imigran dari Honduras mau dipecat dari pekerjaannya karena sering tidak masuk.  Si Honduran dengan PD menjawab “You can not fire me because I’m a Honduran”.  Tapi si employer yang tidak kalah PD- nya menjawab “No you are nooooot, you’re just mister ‘don’t come to work alias mbolosan’ “.
Ada suatu fenomena yang cukup menarik pada sebagian imigran yang di negaranya sendiri sangat sengsara, ditekan sana- sini, diberangus kebebasannya, dijegal usahanya.  Tapi anehnya sampai di Amerika mereka melakukan hal- hal yang dalam seribu tahunpun takkan termimpi berani dilakukan di negara asalnya.  Karena mereka tahu celah- celah memanfaatkan kelembutan hati paman Sam yang cepat meleleh sehingga tidak segan- segan menghisap dan menghisap.
Rupanya pepatah ‘dimana kita tinggal disitu langit dijunjung’ tidak selalu menjadi pegangan setiap imigran.   Padahal menghormati negara barunya juga berarti menghargai diri sendiri sekaligus menjaga nama baik negara asal, dimana kita menunjukkan bahwa kita berasal dari bangsa yang punya manners dan dignity yang tidak hanya bisa mengambil tapi juga memberi.  
Tapi sejauh ini yang merupakan top- nya adalah adalah usulan agar National Anthem/ lagu kebangsaan Amerika secara resmi juga dinyanyikan dalam bahasa Spanyol.  “Daaaamn, ..”  maaf ini hanya menirukan respon sobat saya waktu mendengar berita ini, yang mengemuka sekitar awal 2000- an.  Sementara tidak kurang orang- orang Amerika biasanya liberal, yang simpati dengan alasan Hispanic juga punya hak untuk menghayati lagu kebangsaan dalam bahasa yang mereka pahami (equality baby equality heheheh).  Akankah langit Amerika meriah oleh gaung national anthem dalam berbagai bahasa, Cina, India, Arab, Korea, dll?.  Tapi sampai sekarang hal tersebut belum ada kelanjutannya. 



Untuk menutup tulisan ini, berikut kutipan hikayat di Texas yang bermula saat Texas memenangkan perang melawan Mexico untuk melepaskan diri dari negeri di selatan ini (dulu Texas merupakan bagian dari Mexico).  Jendral Santa Ana, pemimpin pasukan Mexico yang rupanya tidak bisa menerima kekalahan itu mengutuk dan sesumbar bahwa suatu hari kelak Mexico akan mengalahkan Texas (yang kemudian bergabung dengan Union yaitu Amerika).  Hanya, tidak dengan bedil alias peperangan bersenjata melainkan melalui kamar tidur. 
Kutukan sang jendral sudah lama menjadi kenyataan, tidak hanya di Texas, tapi juga bagian- bagian lain di Amerika.

Tidak ada komentar: