Senin, Maret 15, 2010

Huang

David Wirawan (Vids) - Singapore

‘Huang’ kata yang dia sebutkan, dan aku membalasnya dengan ‘David’ panggil aku ‘Vids’ aja lanjutku. Itu pertemuanku dengan seorang pemuda seumuranku saat perjalananku baru-baru ini ke Malaka. Ini perjalanan ke 3 kali aku ke Malaka, kali ini aku melihat banyaknya pembangunan disana sini terutama hotel besar dan mall-mall, tapi bagusnya pusat kota tuanya tidak berubah, semoga tetap dipertahankan.

Perjumpaanku dengan Huang memang suatu kebetulan belaka, saat menyisir pagi hari melihat jejak-jejak yang dulu pernah aku tinggalkan di Malaka, aku bertemu dengannya saat mengabadikan suatu ornament kecil di suatu rumah tua, dia juga melakukan hal yang sama, akhinrya kita saling berkenalan, ‘Hi I’m David’, kemudian dia balas ‘Huang’ , nice to meet you David."
Lalu dia melanjutkan menanyakan dari mana aku dan pas aku bilang Indonesia, dia langsung tertawa dan berkata ‘Wah sama, aku juga dari Jakarta’ . Akhirnya aku dapat teman hunting dalam perjalanan ini. Huang sangat senang dengan Malaka, dia seakan berkata setiap kali kesini aku seperti ke kampung halamanku, dan itu pun persis seperti kata-kata dahulu yang selalu aku ucapkan, seakan Malaka begitu menyatu denganku, sudut-sudut kotanya, aku sudah begitu hafal dengan kota ini.




Huang pun melanjutkan sebenarnya kita punya yang sama seperti ini di Jakarta, dan dia bercerita tentang bangunan-bangunan tua di sekitar pusat kota di kawasan Glodok yang mana masih menyimpan beberapa ornament Chinese peranakan, tapi…. Huang berhenti sebentar lalu melanjutkannya, seakan dia teringat sesuatu yang sangat dalam sewaktu bercerita itu, dan aku langsung mencoba menebak dalam hati, apakah ini peristiwa Mei 1998 lalu?
Ternyata dugaanku benar, Huang melanjutkan ceritanya, beberapa bangunan telah rusak, nilai sejarah telah hilang, menjadi abu, menjadi luka yang susah dihilangkan, komunitas Chinese peranakan yang seingatnya saat itu sedang berusaha membaur dengan penduduk lokal akhirnya banyak yang menjadi korban, mereka bukan orang kaya raya, mereka berdagang berjualan dari pagi sampai malam.
Pikiranku terbayang lagi sewaktu aku kecil dibawa mamaku kesana, yah mereka berjualan sayur, buah, obat-obatan di pinggiran jalan yang dikenal dengan Petak Sembilan, para penjual yang rata-rata etnis Tionghoa itu tiap hari menjajakan buah-buah itu didepan bangunan Glodok Plaza, mereka bukan orang yang berkecukupan, tapi mereka juga berdagang untuk hidup mereka, tapi mereka banyak yang menjadi korban, setelah kerusuhan Mei itu, mereka menjadi takut, merasa sebagai warga Negara Indonesia tapi masih dianggap seperti bukan WNI, dan mereka menjadi suara-suara yang diam karena lebih baik mereka diam agar tetap bisa melanjutkan hidupnya di Indonesia, karena memang mereka cinta Indonesia.

Huang berhenti sebentar dan menatapku, seakan ia ingin melihat ketulusan hatiku atau ingin menilai apakah aku bisa dia lanjutkan bercerita, aku pun memasukan sebutir rice ball ke mulutku, dan dia mulai lagi bercerita, Huang melihat rumah makan tua ini dan berkata, di rumahku juga seperti ini, lihat itu meja yang terbuat dari marmer, itu sudah ratusan tahun, begitu pula dengan pot-pot bunga cantik yang berlukiskan burung-burung dan pohon, berwarna putih dengan oretan berwarna biru, itu juga ada di rumah-ku dulu, dan lihat itu burung wallet yang berdiam di pojokan, dahulu juga banyak seperti itu di rumah-ku.
Tapi semua itu telah hilang, diambil, dibakar dan semua kenangan akan masa kecilku tidak ada lagi, photo-photo kecilku saat dari bayi sampai aku dewasa telah menjadi abu, rumah itu dibakar saat tengah malam saat kerusuhan, saat serangan pertama, barang-barang itu diambil dari rumahku, saat itu aku berada di depan rumah, aku menyaksikan sendiri bagaimana barang-barang orangtua-ku dijarah, dan aku menyaksikan tanpa bisa berkata apa apa, aku hanya memahami saat itu memang banyak rakyat miskin tapi mereka tidak begitu lapar untuk melakukan hal ini, beberapa orang disampingku melihat aku, kulitku memang agak hitam saat itu karena aku selalu berjemur, saat itu memang genting sekali bagi etnis Chinese karena mereka menjadi korban.
Huang berhenti sebentar mengambil es teh lalu melanjutkan lagi, saat itu ada beberapa orang yang berkata itu bukan barangku dan haram merebut barang orang lain, ada beberapa orang yang tidak peduli lagi merampas dan mengambilnya. Aku yang berdiri saat itu pun berkata, siapakah mereka ini yang begitu beringas, tapi dalam hati pun aku berkata puji Tuhan banyak yang moralnya baik. Dan aku pun selalu berdoa, dan aku menghubungi orangtua-ku yang berada di dalam rumah, sedangkan aku berada di depan menyaksikan semua ini. Dengan handphone Nokia Banana, aku menghubungi orangtua ku dan suara mama begitu bercampur aduk antara senang mendengar suaraku dan perasaan takut, aku cuma berkata, tenang, Huang ada di depan rumah, papa mama di dalam tenang aja, Huang akan menjaga situasi, kita berdoa saja, Huang minta papa saat nanti kalau suasana genting sekali dan harus pergi dari rumah, papa pegang mama dan jangan urusin harta. Tapi ternyata itu membuat mama tambah kawatir karena takut kalau aku diserang mereka.











Huang lalu melanjutkan ceritanya, Ia kemudian pergi ke tempat adiknya, karena adiknya masih kecil dan berada di rumah lain, saat itu keadaan begitu genting, beberapa rumah di sebalah rumah ortuku sudah dibakar, dan aku saat itu melintasi harus merasakan panasnya api membara, dan akhirnya aku bertemu dengan sebuah ojek, aku menanyakan ojek itu mau tidak untuk pergi ke Kalideres. Tanpa pikir panjang si ojek mau saja, aku berikan uang 20 ribu saat itu.
Huang berkata kepadaku, kamu tahu itu Slipi Jaya Plaza? Itu saat aku lewati dengan motor sedang dibakar, aku menyaksikan semua itu, dan selama perjalanan dari jalan Daan Mogot itu setiap kendaraan yang lewat di check untuk melihat orang tersebut etnis Chinese atau bukan, saat itu aku hanya berdoa dan selama diberhentikan, aku selalu lewat dan akhirnya aku tiba di rumahku, dan aku berkata kepada adikku tenang saja, mama papa baik-baik saja.
Aku pun langsung membeli persediaan makanan, Indomie dan juga karena pergaulanku dengan para tukang ojek, mereka membantuku, mereka berkata kalau ada serangan disini, kamu lari ke tempatku, dan aku saat pergi ke warung depan untuk memesan nasi, aku berkata kepada ibu penjual, bu tolong aku yah, kalau nanti ada serangan aku titip adikku disini.
Kepada adikku aku berkata, kalau nanti ada serangan karena mereka masih kecil, kalian lari menyusuri padi dan berhenti di warung makanan, kalian tinggal disana sampai aku kesana lagi menjemput.

Aku sudah berhenti dari kelezatan chicken rice ball yang terkenal itu, karena cerita dari Huang membuatku ter-focus seakan aku berada dalam peristiwa itu, Huang masih ingat sekali detil detil kejadiannya.
Huang berkata lagi semalaman dia berusaha mengontak mama papanya, ternyata tidak bisa lagi, perasaan kawatir sudah bertubi-tubi dan saat itu kami hanya berdoa dan saling menguatkan antar teman-teman dan tetangga. Kira-kira jam 3 pagi, papa telepon dari Mesjid Istiqal mengatakan kalau rumah sudah dibakar dan papa lari kesana, aku langsung menanyakan dimana mama?
Papa mengatakan kalau ia terpisah dari mama, aku kesal dan marah karena sebelumnya sudah aku katakana yang terpenting nanti saat kabur yang dipegang adalah mama, papa berkata karena papa saat itu juga menjaga nenek, jadi saat dibakar, semua terpencar.

Aku melihat mimik Huang, saat itu butiran air mengalir dari matanya, aku seakan mau memberhentikan semua cerita ini, tapi Huang melanjutkan lagi, Papa ngak bisa telp lama-lama karena itu handphone orang lain, dan papa memang tidak ada handphone, lalu aku berdoa lagi semoga Tuhan melindungi mama, dan tidak sampai 30 menit mama telepon, kalau dia berada di rumah penduduk lokal, mereka menyelamatkan mama dan menyuruh mama tinggal disana.
Saat itu aku bercampur aduk perasaannya, antara takut senang kawatir sedih, dan juga harus menjaga keadaan di sekitar rumah, 3 hari tidak tidur dan menyaksikan berita-berita di TV yang menakutkan dan akhirnya di hari minggu itu, papa pulang ke rumah, mama pun pulang hampir dengan saat yang bersamaan, kami berpelukan, aku sempat marah dengan papa karena melepaskan mama, tapi aku pun mengerti dan bilang lain kali tolong jaga mama, itu satu-satunya saat aku marah kepada papa.
Aku melihat mama memegang hanya satu tas, baju mereka cuma satu melekat di badan selama 5 hari kerusuhan, Tas yang mama pertahankan hanya berisikan dokumen akta lahir dan Kartu Kewarganegaraan Indonesia, karena Huang sekeluarga dari papa mama semua lahir di Indonesia. Dari semua harta cuma itu yang mama pentingkan, karena begitu susahnya diakui sebagai WNI, hanya selembar kartu tanda kewarganegaraan yang bisa mendapat pengakuan bahwa kami juga warga Negara Indonesia, kami lahir di Indonesia dan kami pun berjuang bersama sama untuk Indonesia.
Bolehkah kami yang kaum minoritas ini juga bisa merasakan Kemerdekaan, karena kami pun warga negara Indonesia”









Aku terdiam bisu menatap Huang, lalu Huang pun berkata itu masa lalu, sampai sekarang pun aku masih cinta Indonesia dan rasa nasionalis-ku masih tinggi, lain kali kalau kita bertemu lagi aku akan ceritakan kisahku lagi.
Ah bangunan ini beserta isi-isinya  ternyata membangunkan kisah-kisah lamaku, tapi aku senang sekarang negaraku sudah lebih maju dan semoga tidak ada lagi kerusuhan seperti dulu.
Terima kasih sudah menjadi pendengar yang baik, dan aku susah untuk menceritakan hal ini kepada orang lain.

Aku pun berkata, bolehkah aku tuliskan pengalaman ini untuk blogku dan KoKi dan mengambil photomu?

Huang berkata kalau kamu mau menuliskan ini, tolong dikasih liat ke aku dulu sebelum di-publish. Huang bertanya juga apa itu KoKi, dan aku menjelaskan sekilas tentang KoKi, dan dia berjanji akan melihatnya nanti.

Huang, terima kasih atas kisahmu, semoga kau selalu membagikan kisahmu bagi kami penerus bangsa ini, dari perjalanan malaka ini aku mendapatkan suatu pelajaran hidup lagi….




Semoga arti kemerdekaan ini bisa lebih berarti, bisa lebih dipahami, karena bagi para kaum minoritas, mereka pun juga berjuang demi bangsa dan mereka pun bagian dari bangsa ini.

Tidak ada komentar: