Selasa, Maret 02, 2010

Jejak Multatuli di Lebak


Isa Alimusa – Amsterdam

Banyak karya sastra yang mempopulerkan tempat-tempat eksotis di penjuru dunia. Siapa yang tidak kenal Oran di Aljazair atau Guadalajara di Meksiko. Dua kota itu lekat dengan novel The plague Albert Camus dan Under the volcano Malcolm Lowry. Indonesia juga punya Lebak. Multatuli memperkenalkan kabupaten di Jawa Barat itu ke ranah literatur internasional dalam roman (oto)biografis Max Havelaar.

Multatuli – pseudonim Eduard Douwes Dekker – 150 tahun lalu adalah asisten residen di Lebak, Banten. Di Belanda, ia dicap pegawai negeri yang diasingkan. Di pertengahan abad ke-19, Multatuli menulis keprihatinannya seputar kebijakan tanam paksa di Rangkasbitung. Havelaar, tokoh protagonis roman Max Havelaar, berupaya melawan kekejaman Hindia Belanda dan Bupati Raden Tumenggung Adipati Kartanatanegara. Hingga kini pun, Lebak masih dipimpin oleh bupati atau regent, kendati jabatan ini tidak lagi diwariskan turun-temurun. Oktober 2009 silam, penduduk Lebak dapat memilih langsung pemimpin mereka.

Rangkasbitung, ibukota Lebak, sepintas tampak seperti kota mati tak bertuan. Jarang ada warga yang kenal Multatuli. Hanya polisi yang tahu ada jalan bernama Multatuli. Jalan itu pun bukan urat nadi Lebak. Rumah dinas Multatuli cuma tinggal reruntuhan dinding dan beberapa tegel. Dari puluhan toko buku megah di Jakarta, hanya satu penyalur yang mempunyai persediaan buku Max Havelaar terjemahan H.B. Jassin. Pak Soehardjo, supir sewaan Blue Bird, melaju kencang dari Jakarta menuju Serang melalui Jalan Raya Pos buatan Daendels. Kini, trayek Jakarta-Merak adalah jalan tol dengan enam jalur.




Di Bantam, tak ada lagi lumpur setinggi lutut atau tanah liat becek di musim hujan. Jalan penghubung Serang dan Lebak sudah diaspal, kendati Pak Soehardjo harus lihai menghindari pengendara motor yang menyalip seenaknya. Kadang, ia mengurangi laju kendaraan jika berpapasan dengan truk pengangkut ayam. Sewaktu Douwes Dekker menjabat residen di Lebak, kawasan ini amat mengenaskan akibat cultuurstelsel.  Petani dipaksa menanam dan menyerahkan sebagian besar hasil panen ke pemerintah Hindia Belanda. Padahal, komoditi dagang saat itu seperti kopi, tebu dan tarum tak dapat tumbuh subur di keresidenan itu. Ditempatkan di Lebak bagi ambtenaar Belanda sama saja dengan vonis mati.

Sampai sekarang pun, Lebak bukan kabupaten makmur. Petani kebanyakan menanam padi gogo tanpa pengairan semestinya dan tidak dapat dipanen tiga kali setahun seperti kebanyakan sawah-sawah di Jawa. Di musim kemarau, ladang itu kelihatan gersang dan menguning diselingi sekawanan kerbau, layaknya kisah Saidjah dan Adinda di Max Havelaar. Kondisi jalan terawat cukup baik. Tiang-tiang komunikasi ponsel terlihat menjulang di sisi jalan. Telpon genggam juga jadi ‘mainan’ populer di Lebak dan gedung sekolah hampir rampung dibangun. Lebak mulai bergeliat dan sadar, infrastruktur adalah tolok ukur kemajuan.




Menjelang tengah hari, Pak Soehardjo dan rombongan melewati Ciujung, sungai yang mengalir pula di roman Max Havelaar. Spanduk besar tergantung di jembatan bertuliskan ‘Lebak Membangun’ dilengkapi  potret dua pria: Haji Mulyadi Jayabaya dan Ir. Amir Hamzah, Bupati dan Wakil Bupati Lebak. Memasuki Rangkasbitung, Jalan Protokol membelah kota menuju alun-alun. Belum lama ini, jalan tersebut dilebarkan. Di tengah trotoar, akhirnya papan penunjuk Jalan Multatuli dapat ditemukan. Mesjid Agung berdiri megah dekat alun-alun dan mobil-mobil berderet diparkir di sekitar Kantor Bupati Lebak yang baru direnovasi. Di tembok koridor, Aula Multatuli ditulis dengan cat berwarna perak. Lebak belum lupa Douwes Dekker.

Sebetulnya, roman Max Havelaar adalah kritikan tajam terkait penyalahgunaan kekuasaan di Hindia Belanda. Bukan saja terhadap kolonisator Belanda, tetapi lebih kepada otoritas Indonesia saat itu. Protes keras Multatuli terutama ditujukan ke bupati Lebak dan menantunya, demang Parangkujang. Pemerintah Belanda adalah pihak ketiga yang membiarkan praktik kotor dua penguasa tersebut berjalan leluasa.

 Adipati Kartanatanegara adalah tokoh historis priyayi di Jawa. Setelah kalah melawan gubernur jenderal Belanda di Perang Diponegoro (1825-1830), ia hengkang dari Batavia dan pindah ke Lebak. Namun, ia tetap menyandang status ningrat dan memiliki fasilitas bangsawan. Secara hierarkis di masyarakat, Adipati Kartanatanegara adalah ‘saudara muda’, sedangkan residen Belanda disebut ‘saudara tua’. Waktu itu, kekuasaan di Lebak amat terpusat dan birokratis.

Beberapa saat setelah resmi ditugaskan di Lebak, asisten residen Havelaar mendengar bahwa pendahulunya, Slotering, tewas diracuni oleh demang Parangkujang dalam sebuah perjamuan makan. Slotering mengendus praktik korupsi semena-mena demang itu dan mertuanya. Havelaar mulai meneliti arsip-arsip Slotering dan menampung keluhan warga Lebak.  Sudah terbetik berita, Adipati Kartanatanegara akan dikunjungi oleh sepupunya dari Cianjur. Kartanatanegara memerintahkan rakyat jelata untuk membersihkan rumput di sekitar rumahnya dan menyembelih paksa kerbau-kerbau milik petani untuk dijadikan hidangan pesta. Padahal,  ternak itu diperlukan untuk membajak sawah.

Havelaar melayangkan surat protes ke atasannya, residen Slijmering. Ia tak mengindahkan Havelaar dan justru mengucurkan dana tambahan untuk Adipati Kartanatanegara. Havelaar dipindahkan ke Ngawi, Jawa Timur, tapi ia sukarela mengundurkan diri. Havelaar mencoba mengadu ke salah satu gubernur jenderal, namun petinggi itu dipanggil pulang ke Belanda sebelum bertatap muka dengan Havelaar.

Max Havelaar dianggap roman terpenting kesusastraan Belanda di abad ke-19, terutama karena konstruksi rumit dan gaya bahasa yang dipakai. Selain itu, pesan moral buku tersebut menggemparkan Belanda. Bahkan, ada beberapa mantan pegawai kolonial bunuh diri setelah membaca roman itu. Tulisan ini juga disebut salah satu pemicu penghapusan tanam paksa di tahun 1870, meski banyak sejarawan Belanda memperdebatkan kebenaran Max Havelaar. Menurut catatan kolonial Belanda, pendahulu Multatuli, Carolus, bukan keracunan melainkan terkena wabah disentri dan meninggal di rumah sakit militer di Serang.

Arsip itu juga membeberkan kekuasaan feodal di Jawa semasa kolonisasi. Bupati menerima penghasilan minim dari pemerintah Hindia Belanda dan harus menghidupi karyawan serta keluarganya. Kunjungan bupati Cianjur, Kusumaningrat, jadi tamparan bagi Kartanatanegara. Apalagi, sepupunya itu juragan kopi kaya di Preanger dan datang dengan rombongan besar. Takut kehilangan muka, Kartanatanegara terpaksa ‘meminjam’ kerbau dari rakyat dan memakai tenaga penduduk untuk menyiangi rumput di halaman istana.

Seusai Revolusi Perancis, kebiasaan memberi hadiah ke penguasa atau tuan tanah dihapuskan di Eropa dan wilayah koloninya. Namun, tradisi pundutan atau persembahan untuk raja masih berakar kuat di Pulau Jawa. Residen Brest van Kempen (figur Slijmering di roman), atasan Douwes Dekker,  menekankan pula adat di Jawa. Menurutnya, tak ada penyitaan kerbau secara paksa. Penduduk tetap menerima ganti rugi, meski tak mencukupi dan terlambat. Van Kempen sempat pula mengeluarkan surat peringatan terhadap Kartanatanegara dan memecat demang Parangkujang.

 


Subagio Sastrowardoyo, kritikus sastra, pernah menulis artikel pada tahun 1987 mengenai roman Max Havelaar. Menurutnya, roman ini hanya dikenal oleh sebagian kecil masyarakat di Indonesia tetapi sangat dihargai karena menjabarkan penyalahgunaan wewenang oleh pemerintahan kolonial maupun lokal. Namun, ia menyayangkan nama samaran Multatuli. “Douwes Dekker menggunakan nama fiktif untuk figur-figur romannya, tetapi sama sekali tidak mengubah Kartanatanegara. Douwes Dekker seakan menginjak-injak nama baik Kartanatanegara dan keturunannya yang masih hidup,” terang Sastrowardoyo.

Kartanatanegara masih menjabat bupati selama sembilan tahun setelah ‘kasus’ Havelaar dan menghabiskan akhir hayatnya di Rangkasbitung. Kartanatanegara dikuburkan di sebelah barat alun-alun, dekat Mesjid Agung. Batu nisan pemakaman tersebut menyandang nama-nama bangsawan: Sumaatmadja, Nataatmadja dan Kartadjumena. Pusara Kartanatanegara terletak di bawah pohon rimbun dan terlihat baru dibenahi. Nisannya dibalut sorban putih. Seorang petugas menyibak kain tersebut dan terpampang pahatan nama dalam bahasa Arab. Menurut petugas itu, banyak yang berziarah di makam Kartanatanegara.

Di selatan alun-alun, Gedung Negara bekas kantor Douwes Dekker sudah dipugar dan dihiasi foto-foto panorama di zaman penjajahan, di antaranya kediaman Douwes Dekker di Rangkasbitung dan potret istrinya, Everdine van Wynbergen (figur Tine di Max Havelaar). Sejarah belum lekang di Lebak. Seorang dokter dan tiga perawat mondar-mandir di anak tangga. “Pak Bupati mau donor darah, tapi masih sibuk,” jelas seorang suster. Haji Mulyadi Jayabaya, orang nomor satu di Lebak, berasal dari Cileles. Ia adalah putra seorang kepala desa dan sempat menjadi supir angkot sebelum terjun ke politik. Haji Mulyadi bergabung dengan  PDI-P setelah Suharto lengser di tahun 1998.

Ia terpilih menjadi bupati Lebak pada 2003, dan dipercaya kembali melalui pemilihan langsung dan perolehan 65% suara untuk memimpin kabupaten Lebak di tahun 2009. Haji Mulyadi lebih sering dipanggil Haji Bai. Ia sendiri lebih senang dijuluki JB – berdampingan dengan SBY. JB disayang warganya. Ia benci birokrasi, tak segan turun ke jalan dan banyak memakai tenaga karyawan muda di kantornya. Wakilnya, Amir Hamzah lebih intelektual dan memiliki jaringan sosial dengan dunia akademis. Kombinasi duet ideal: ide efektif dan otot politik.

“Kami baru menyusun buku sejarah Lebak. Lima belas halaman mengupas Douwes Dekker,” ujar Amir Hamzah. Perawakannya kecil tapi gempal. “Buku ini disusun oleh sejarawan Universitas Pajajaran di Bandung,” tambahnya. Ia memaparkan, “Douwes Dekker adalah figur kontroversial di Indonesia. Ia memojokkan bangsa jajahan, tapi  tetap nasionalis dan sauvinis. Saya hormat dengan Multatuli, ia mau memperjuangkan rakyat jelata dan mempertaruhkan karirnya sendiri untuk kebenaran.” JB menimpali, “Multatuli adalah pahlawan Lebak. Nama kami pun mirip. Multatuli dan Mulyadi. Mulyadi adalah pembela rakyat cilik!” Amir tersenyum dan wangi rokok kretek mulai tercium di ruang kerja JB. “Jangan percaya JB. Mana pernah dia baca hikayat Saidjah dan Adinda. Paling cuma dengar dari orang!” ejek Amir.

 


Pak Soehardjo, pengemudi merangkap pemandu, menawarkan mampir ke Cileles, sekitar 40 kilometer di selatan Rangkasbitung. Mengutip Multatuli, Cileles atau Parangkujang adalah contoh eksploitasi kolonialisme paling kelam di Jawa Barat. Cileles adalah tempat kelahiran JB. Tiap orang pasti kenal Haji Bai. Perkebunan karet dan kelapa sawit terlihat dari kejauhan. Selain itu, masih ada beberapa pohon cengkeh, kakao dan aren menyembul. Beberapa buruh harian tampak mengais rezeki dekat pabrik arang. Asap hitam mengepul di udara.

Gunung Kencana merupakan dataran paling tinggi di Lebak. Di kaki gunung tersebut, sekumpulan tukang sedang membangun gedung sekolah di Desa Gunung Kidul. Di perempatan jalan, sebuah warung sederhana milik Kang Anom dan istrinya, Nina, menjadi wahana sosialisasi penduduk sambil lalu lalang. Kang Anom langsung antusias mendengar nama JB, “Dia teladan kami. Penduduk Gunung Kidul semua memilih JB. Anak-anak bisa kembali menimba ilmu. Orang tak mampu dibebaskan membayar iuran sekolah. Bocah-bocah itu tidak perlu lagi belajar di kandang ditemani ayam.”

Tapi, mengapa jalan di sini justru banyak lubang? Zakaria, penduduk setempat, menjelaskan sambil menyeruput kopi, “Kontraktornya penipu. PT Budi Bahagia. Uang dari bupati malah dikantongi sendiri. Tapi, sudah kami laporkan.” Seorang pengendara motor dengan kotak putih di joknya menanyakan arah jalan ke Kang Anom. “Ujang kasep dan soleh. Dia kerja di puskesmas,” sergah Nina. Lebak memiliki 40 puskesmas dan menyediakan 203 mantri keliling untuk kawasan terpencil

Sebagian tamu di warung Kang Anom punya ponsel, kadang lebih dari satu. “Menara komunikasi terus dibangun. Buat kami malah untung. Tarif telepon jadi turun,” kata Zakaria. “Penduduk menghubungi mantri keliling juga memakai HP,” tambah Kang Anom. JB menjelaskan, “Kami ingin pengusaha jujur di Lebak dan membuat daftar hitam perusahaan bermasalah. Sejauh ini sudah ada 57, termasuk PT Budi Bahagia.” Langkah JB seolah terinspirasi dakwaan Multatuli terhadap demang Parangkujang. “Dulu, bupati dianggap setengah raja. Sekarang, situasi lain. Zaman kolonial menganut sistem sentralisasi, sedangkan Kabupaten Lebak punya semacam otonomi regional untuk mengembangkan wilayahnya sendiri,” terang Amir. Awal Agustus 2009 silam, Wapres Boediono  sempat berkunjung ke Lebak. Kabupaten ini pun digelari salah satu wilayah terbaik oleh majalah Tempo.

 



Catatan:

Max Havelaar pertama kali diterbitkan pada 15 Mei 1860 di Amsterdam oleh percetakan De Ruyter. Eduard Douwes Dekker atau Multatuli (1820-1887) mencoba menguraikan pengamatannya sewaktu ditugaskan di Hindia Belanda tahun 1838 hingga 1856. Max Havelaar banyak dipuji baik secara kualitatif maupun isi pesan di dalamnya. Roman ini sudah diterjemahkan di banyak bahasa, antara lain Polandia, Korea, Jepang, Perancis, Inggris, Indonesia, Ibrani, Serbia, Italia dan Jerman.                                                                                                                                                                  

Banyak yang menganggap karya Multatuli sebagai satire politik. Penindasan, keadilan dan perdagangan jujur adalah tema yang masih aktual hingga saat ini. Tak heran, produk-produk sinambung – dan anti eksploitasi tenaga kerja – di beberapa negara Eropa diberi label Fair Trade Max Havelaar. Dalam bukunya, Multatuli mengobrak-abrik kolonialisme, perdagangan internasional dan kejahatan berkedok misionaris.

Pemerintah Belanda mengorganisasi peringatan 150 tahun Max Havelaar dengan beragam aktivitas, di antaranya pameran bertajuk ‘Bukan roman, tapi gugatan!’ (Het is geen roman, ’t is een aanklacht!) di Universiteit van Amsterdam dan eksposisi sejenis di Multatuli Museum. Selain itu, bakal diselenggarakan pula beberapa simposium dan pemutaran film Max Havelaar (1976).(detik.com)

Tidak ada komentar: